Kupu-Kupu Hitam dan Perempuan yang Menunggu Suaminya

Siska melihat seekor kupu-kupu berwarna hitam terbang di langit-langit dapur, ketika ia sedang menaruh satu per satu hidangan makan malam di atas sebentuk meja bundar. Bagi seseorang yang sedang menunggu tamu seperti dirinya, kehadiran seekor kupu-kupu adalah suatu kesenangan kecil, menjadi semacam pertanda bahwa tamu yang dimaksud memang akan datang berkunjung—meski hal itu tak sepenuhnya benar. Dan, demi melihat kupu-kupu yang tengah terbang mengitari lampu yang berpendar, ia tersenyum.

Selang beberapa saat kemudian, Siska menengok pada jam yang menempel di salah satu dinding, sudah pukul 6.13 sore. Kurang sejam lagi suaminya akan pulang setelah dua minggu berada di luar kota. Sebelum ia pergi mandi dan merias diri demi menunjukkan penampilan terbaiknya pada sang suami, ia memastikan hidangan di meja makannya telah tersaji dengan benar. Semua beres. Untuk sejenak sebelum ia keluar dari dapur, ia melihat kupu-kupu yang terbang berputar-putar di langit-langit dapur, hanya untuk kembali terpukau dan tersenyum. Setelahnya ia pun masuk ke kamarnya dan menanggalkan semua pakaiannya dan menuju kamar mandi.

***

Sebenarnya, Hans, suami Siska sudah sampai di kota yang mereka huni, siang tadi. Namun pria itu memilih untuk tidak segera pulang dan malah membohongi istrinya bahwa ia akan sampai di rumah pada pukul tujuh sore. Ia sengaja melakukan itu demi menepati janji temunya dengan seorang perempuan.

Perempuan itu adalah teman semasa kuliah Hans. Perempuan itu berstatus sebagai janda muda. Ia memiliki seorang anak lelaki berusia enam tahun. Untuk membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari, ia mengandalkan toko miliknya sendiri yang menjual beragam jamu warisan keluarga, yang merangkap sebagai panti pijat. Mereka berdua bertemu kembali setelah sekian tahun di Stasiun G, ketika si perempuan mengantar salah seorang temannya dan Hans hendak berangkat bertugas di luar kota. Di lobi stasiun, keduanya berbincang-bincang hingga tercetuslah janji temu itu.

Maka begitu sampai stasiun, Hans segera meluncur ke toko tersebut dengan taksi.

***

Berdiri di bawah pancuran yang mengguyur tubuh telanjangnya dengan air hangat, Siska memikirkan pakaian apa yang akan ia kenakan setelah mandi. Ia ingin membuat suaminya terpukau dalam sekali pandang. Mulanya, ia berpikir untuk memakai gaun yang pernah dihadiahkan oleh suaminya di ulang tahun pernikahan mereka yang pertama, tahun lalu. Namun ia merasa gaun itu tak layak dipakai dalam rumah, terlalu mewah, hanya cocok dipakai di pesta-pesta. Maka ia urung memilih gaun tersebut. Ia lalu memikirkan opsi lainnya dan memperoleh ide untuk mengenakan pakaian serbaminim, agar suaminya terangsang. Ia membayangkan ketika Hans mengetuk pintu dan ia membukanya, mata suaminya itu langsung terbeliak demi melihat pemandangan indah nan menggairahkan di depannya. Ia membayangkan Hans buru-buru masuk ke rumah dan bergegas menutup pintu dan menguncinya. Lalu tubuh mereka saling merapat. Dan, dengan bersandar di salah satu sisi dinding, mereka saling memagut bibir dengan ganas, memainkan lidah dengan lincah. Tak lama kemudian, Hans menggendongnya, membawanya ke sofa, dan merebahkan tubuhnya di situ. Tubuh mereka saling berhimpitan kembali dengan Hans berada di atas tubuhnya. Di atas sofa, mereka bercinta dengan beragam posisi hingga berpeluh.

Membayangkan adegan-adegan itu, Siska merasakan basah di antara selangkangannya. Bukan basah karena guyuran air, melainkan karena basah yang lain. Ia juga merasakan panas membakar sekujur tubuhnya. Panas yang hangat. Panas yang nikmat. Napasnya tersengal, terjangkit berahi. Tanpa sepenuhnya ia sadari, tangan kanannya menyentuh buah dadanya, mengusapnya, meremasnya, dan memilin puting susunya, secara begiliran. Sementara tangannya yang lain memainkan sesuatu di antara selangkangannya yang sedikit membuka, mengusap-usapnya, menjejalkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke liang sanggamanya. Matanya terpejam. Digigitnya bibir bawahnya dengan gemas. Dari mulutnya keluar desahan. Ia memang sangat merindukan sentuhan-sentuhan itu. Sentuhan yang selama sebulan ini tak diberikan oleh Hans. Siska terus memainkan perkakasnya, hingga beberapa menit kemudian, ia mengerang karena telah mencapai puncak.

***

"Seharusnya, aku tadi langsung pulang. Istriku pasti menungguku. Hari ini dia ulang tahun," kata Hans. Ia sedang berada di dalam sebuah kamar, bersama teman perempuannya yang mengenakan kaos berleher rendah tanpa lengan dan celana-pendek-ketat berbahan jins. Mereka duduk berdua di tepi ranjang.

Perempuan itu tersenyum, lalu berkata, "Kamu bawa hadiah untuknya?"

"Aku membelikannya kalung emas berbandul kupu-kupu."

"Pasti indah," kata perempuan itu. "Apa mahal?"

"Selama ada uang, semua murah."

Perempuan itu tertawa.

"Beruntung sekali istrimu punya suami sepertimu."

"Kau pikir begitu?"

"Menurutmu tidak?"

"Kalau benar aku suami sehebat itu, tidak mungkin aku berada di sini, bukan?"

Perempuan itu mengiyakan, kembali tertawa.

"Baiklah, bisa kita mulai sekarang?" tanya perempuan itu.

"Aku menunggunya dari tadi, tahu."

Perempuan itu cekikikan.

"Baiklah," kata perempuan itu, "perlihatkan 'barangmu'."

Hans bangkit lalu berdiri di depan perempuan tadi yang masih duduk di tepi ranjang. Tanpa diperintah, perempuan itu membuka kait dari ikat pinggang yang melingkar di celana Hans, membuka kancing celananya, menurunkan ritsletingnya, dan memelorotnya, hingga tampaklah celana dalam Hans yang membungkus penisnya. Kemudian, dengan perlahan, kedua tangan perempuan itu secara serempak menggulung celana dalam Hans, seolah-olah tak ingin kejutannya cepat diketahui. Selang beberapa saat, akhirnya, celana dalam Hans mendarat di bawah kakinya.

Seperti seorang pemerhati seni, perempuan itu mengamati 'barang ' milik Hans, dan terkagum-kagum.

"Punyamu bagus juga," puji perempuan itu.

Tapi alih-alih senang, Hans malah sedih mendengarnya.

***

Siska duduk di salah satu sofa di ruang tamu, sambil membaca sebuah novel. Sengaja ia menunggu di situ agar ia bisa berdekatan dengan pintu rumahnya, agar ia bisa segera mendengar bunyi ketukan dan lekas membukanya dan menjumpai suaminya.

Namun, hingga pukul delapan lewat, bunyi ketukan itu tak kunjung terdengar. Hatinya menjadi resah, tak sabar, membuatnya tak lagi fokus membaca. Maka ia menutup novel tersebut, menaruhnya di meja. Untuk kesekian kalinya ia menengok jam dinding. Jarum jam terus berpindah, terus melaju detik demi detik, menit demi menit, tanpa mau menunggu, tanpa bisa ditunda. Ia makin tak sabar. Jika bisa ia ingin menghentikan waktu sekarang juga, andaikata hal itu mampu mengurangi lama ia menunggu.

Pukul sembilan lewat, ketukan itu belum juga terdengar. Siska meraih ponselnya, menelepon, namun ponsel Hans tak aktif rupanya; hingga akhirnya ia menyerah, putus asa, tak peduli. Ia lalu meraih remote teve-nya, menyalakannya, tanpa berniat melihat tayangan apa pun, hanya berpindah-pindah channel, seolah tak ada sesuatu yang menarik. Sesekali ia menaikkan suara teve-nya, hanya demi mengalahkan bisikan prasangka yang bertiup di kupingnya, yang mengatakan suaminya sedang main gila dengan seorang perempuan. Ia tak mau percaya bisikan itu; ia yakin suaminya tak akan mengkhianatinya. Namun ia juga lekas meredakan suara teve-nya, khawatir kalau-kalau bunyi ketukan tersebut akhirnya datang. Dan, begitu yang ia dapati hanya keheningan yang menggusarkan, ia kembali menaikkan volume teve-nya untuk kemudian meredakannya kembali. Ia melakukan itu berulang-ulang, hingga ia bosan dan mematikan teve-nya.

Siska menengok jam dinding sekali lagi, sudah hampir jam sepuluh. Ia menggigit bibir bawahnya, menaikkan kedua kakinya di sofa untuk kemudian ia dekap erat. Ia bersusah payah menahan tangisnya supaya tak mengucur. Ini hari ulang tahunnya, pikirnya, tak seharusnya ia bersedih apalagi menangis. Namun tanpa bisa dicegah air matanya merembes, mengular di pipinya, untuk bermuara di dagunya. Air mata itu menggantung di situ, hingga kemudian menetes dan menetes.

Kupu-kupu yang tadi dilihatnya di dapur, kini terbang berputar-putar di langit-langit ruang tamunya. Kupu-kupu itu terbang dengan tenang, melayang dengan ringan. Siska sempat mendongak dan melihat si kupu-kupu. Tak seperti sebelumnya, kali ini, ia tak terkagum maupun tersenyum. Ia tak lagi menganggap itu sebagai pertanda datangnya seorang tamu. Ia bahkan menganggap memiliki harapan tersebut karena mendapati kehadiran seekor kupu-kupu yang terperangkap dalam rumahnya, adalah angan-angan yang kelewat muluk, dan ia malah menganggap itu sebagai olok-olok yang menyebalkan.

***

"Sejak kapan kau mengalami ini?" tanya teman perempuan Hans, selepas mengupayakan beragam cara demi menegakkan penis pria itu, dan berujung pada kegagalan, dan menyerah.

"Sebulan yang lalu," jawab Hans. Ia berbaring di ranjang, masih tanpa celana. Sedangkan perempuan itu duduk di sampingnya, sejajar dengan lututnya. "Aku baru menyadarinya ketika aku bercumbu dengan istriku dan tak merasakan penisku menegang hingga aku terpaksa menghentikan permainan kami."

"Istrimu tahu soal ini?"

"Jangan konyol," kata Hans, "aku tak akan memberitahunya."

"Harga diri lelaki?"

"Ya," kata Hans, seraya membuang napas dengan kecewa, "karena harga diri lelaki."

"Tapi kau tidak malu menunjukkannya padaku."

Hans memandang teman perempuannya itu yang masih cantik dan berbadan bagus sekalipun sudah pernah melahirkan.

"Karena aku hanya akan bercinta dengan istriku, bukan dengan perempuan lainnya," balas Hans, beberapa saat kemudian. "Aku pikir ini saatnya untuk langkah terakhir."

"Kau yakin?"

"Yakin."

"Baiklah, akan kubuatkan," kata perempuan itu, seraya bangkit dari ranjang, "tunggu sebentar." Lalu pergi meninggalkan Hans yang masih berbaring dan masih tanpa celana dan masih dengan penis yang terkulai malas.

***

Pukul sebelas malam, Siska membereskan makanan yang tersaji di meja, memasukkan makanan-makanan itu ke dalam wadah plastik beragam ukuran, sebelum menaruhnya di lemari pendingin. Ia memutuskan untuk pergi tidur saja. Sudah kelewat lama ia menunggu. Mungkin, pikirnya, suaminya itu bakal datang besok, bukan hari ini. Ia sudah membunuh prasangka dalam benaknya yang menuduh suaminya sedang berselingkuh. Dan kini, ia malah berdoa agar suaminya itu diberi keselamatan dan semoga keterlambatannya datang hari ini bukanlah sebuah pertanda dari sesuatu yang buruk yang telah menimpa suaminya.

Namun tanpa disangkanya, saat ia baru saja keluar dari dapur dan hendak menuju kamarnya, ia mendengar sesuatu, sebuah ketukan. Mulanya, ia tak meyakininya dan mencoba untuk memastikannya. Ia menghentikan langkahnya, berdiri bak patung, sambil memasang telinga lebar-lebar. Dan saat ketukan itu terdengar lagi dan lagi, ia meyakini pendengarannya tak salah.

Ia bergegas menuju pintu rumahnya, hingga tanpa sengaja menginjak bangkai kupu-kupu yang mati karena ia hantam dengan raket listrik. Semakin dekat dengan pintu, bunyi ketukan itu terdengar semakin jelas. Tergesa-gesa ia memasukkan kunci ke lubang hingga berkali-kali luput. Dan begitu berhasil memasukkan kunci ke lubang dengan benar, ia lekas memutarnya. Ia tekan kenop pintu seraya menariknya hingga daun pintu terkuak, hanya untuk menjumpai kekosongan belaka. Ia tak mendapati siapa pun di ambang pintu.

Meski begitu, ia masih berusaha mencari sosok yang mengetuk pintu rumahnya, sosok yang ia kira suaminya. Ia edarkan pandangan menjelajah pekarangan rumahnya dan pada jalanan lengang yang diterangi cahaya remang lampu merkuri. Ia tetap tak mendapati siapa pun.

Dengan kecewa, ia menutup pintu rumahnya dan kembali menguncinya. Suaminya tidak jadi datang malam ini; suaminya akan datang besok; dan, apa yang didengarnya tadi adalah semacam angan-angan yang kelewat nyata, karena ia begitu mendambakannya; bunyi ketukan itu hanya ada dalam pikirannya—demikian ia beranggapan.

***

Hans segera menegakkan punggungnya, ketika perempuan itu datang dengan membawa segelas ramuan jamu. Jamu yang dianggap sebagai langkah terakhir tadi. Jamu yang Hans harap bisa membangunkan penisnya.

Sebelum perempuan itu pergi lagi untuk menyelesaikan suatu urusan dengan seorang pelanggan lainnya, perempuan itu berpesan: bahwa ramuan tersebut sangat 'keras' sehingga jika yang ini gagal maka ia tak tahu lagi harus melakukan atau memberi apa lagi demi kesembuhan Hans.

Hans mengatakan, ia mengerti dan mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan padanya.

Setelah perempuan itu keluar kamar, Hans menenggak jamu itu.

Beberapa menit kemudian, ramuan itu mulai bereaksi. Hans merasakan dadanya menghangat; jantungnya berdegup kencang, terdengar seperti bola basket yang memantul-mantul dengan cepat; dan napasnya memburu. Ia menengok di antara selangkangannya, sebab ada rasa geli di sana. Namun penisnya masih tertidur serupa belut yang mengantuk. Hans menyentuh dan mengelus-elus penisnya. Sesaat ia merasakan penisnya itu mulai mengeras, meski tak betul-betul tegang seperti yang diharapkannya, hanya menjadikannya agak membesar saja. Reaksi ramuan itu hanya sampai di situ saja.

Hans mendengus. Ia bergumam, jika begini saja yang diperolehnya ia tidak akan mampu menerobos liang sanggama istrinya.

Tak lama Hans mendapat sebuah ide gila. Ia akan menambah reaksi ramuan itu dengan menelan pil-biru sebanyak dua butir sekaligus.

Sebenarnya, itu keputusan yang ceroboh. Karena setelah ia menelan dua butir pil tersebut, kepalanya dicengkeram rasa pusing yang hebat, jantungnya berdebar-debar seolah hendak meledak, juga merasa mual. Meski mengalami semua rasa tak enak itu, Hans justru tersenyum, ketika melihat penisnya membesar dan mengeras dan mengacung begitu tegang. Namun senyumannya itu tak bertahan lama. Karena mendadak kesadaran Hans padam.

***

Esok paginya, ketika Siska hendak pergi berbelanja, ia mendapat telepon dari sebuah rumah sakit yang mengabarkan suaminya sudah meninggal. Mulanya, ia sempat mengira suaminya itu mengalami kecelakaan. Namun ia terkejut begitu tahu suaminya mati karena over dosis yang memicu serangan jantung.

Siska memekik. Dari mulutnya keluar jeritan yang bercampur dengan suara tangisannya. Tiba-tiba ia menjadi limbung, hingga ia terpaksa bersandar di meja agar bisa berdiri tegak.

Setelah menutup telepon, ia langsung saja membatalkan niatnya untuk berbelanja dan memutuskan untuk segera pergi ke rumah sakit. Namun sebelum ia melangkah ke pintu, tepat setelah ia menaruh gagang telepon, di atas meja di samping telepon ia mendapati sebuah benda berkilau.

Itu sebuah kalung berbandul kupu-kupu.

Anehnya, tiba-tiba ia teringat pada kupu-kupu hitam yang mati dibunuhnya semalam, alih-alih bertanya darimana dan bagaimana kalung itu bisa berada di sana.

***SEKIAN***

Komentar

Postingan Populer