Baiklah, Aku Mengerti

Aku tengah berada di masa-masa paling suram dalam hidupku. Aku merasa begitu buruk dan lelah, seakan tubuhku meleleh menjadi lumpur yang kotor dan berbau busuk. Sepanjang waktu aku habiskan dengan berbaring di ranjangku, seperti orang yang tengah menanti ajal. Aku sekarat.

Dan saat kematian terasa begitu dekat denganku, melingkupiku dengan jubah hitamnya yang dingin, tiba-tiba saja aku teringat pada seorang temanku di masa lalu sewaktu di sekolah dasar. Ia seorang bocah lelaki dengan tampang memelas, seolah ia selalu menangis bahkan meski tanpa ada air mata yang menetes; tubuhnya pendek dan kurus, seolah di bawah kulit putih pucatnya itu tidak terdapat daging melainkan hanya udara dan tulang belulang; matanya terlihat seperti siap terpejam kapan pun, seolah ia terus bergadang sejak lahir; jika ada bagian dari dirinya yang tampak sehat dan layak dibanggakan, itu adalah rambutnya yang hitam berkilau, sehingga saat kali pertama melihatnya aku sempat menduga bahwa apa-apa saja yang ia makan selama ini hanya untuk menghidupi rambutnya itu.

Yang mengingatkanku padanya adalah kebiasaan anehnya. Kali pertama aku memergoki kebiasaan anehnya itu ketika suatu hari aku pergi ke toilet dan mendengar seseorang yang sedang muntah-muntah di salah satu bilik. Aku bertanya-tanya, siapa yang muntah-muntah di dalam sana, dan sebelum aku memutuskan untuk memanjat dinding bilik itu agar bisa mengintip, pintu bilik itu terbuka setelah sebelumnya terdengar guyuran air. Saat itulah aku melihat sosoknya yang menyedihkan itu berjalan dalam langkah kakinya yang lemah dan perlahan.

"Kau habis muntah?" tanyaku.

Ia menatapku sejenak dengan sorot mata dan raut muka yang seakan sengaja dibuat-buat untuk mengatakan, "Ini bukan urusanmu". Tetapi, ia akhirnya hanya mengangguk lemah.

"Apa kau sakit?"—Pertanyaan konyol, ia sakit dan memang selalu terlihat sakit.

Ia menggeleng.

"Aku bisa mengantarmu ke UKS, jika kau sa—"

"Tidak perlu," ia menyelaku, lalu menegaskan padaku, "Aku baik-baik saja."

"Jika kau baik-baik saja, lalu kenapa kau muntah-muntah?" kataku. "Tidak usah sungkan, aku akan mengantarmu ke UKS."

"Aku memang selalu muntah."

"Apa maksudmu?"

"Maksudku, aku memang sering muntah."

"Tidak ada orang tiba-tiba muntah tanpa alasan."

"Aku selalu muntah jika—" Ia menghentikan kalimatnya.

"Jika apa?"

"Jika aku mencium bau tahi atau melihatnya," katanya, akhirnya. "Itu membuatku mual."

Mendengar jawaban itu, aku tergelak.

"Aku harap kau tak membocorkannya pada siapa pun," pintanya.

Sambil masih tertawa, aku mengangguk.

"Janji, ya?"

"Baiklah," kataku.

Tapi aku melanggar janji itu dan membocorkannya pada beberapa teman dekatku yang, lalu menyebarkannya ke teman-teman lainnya, menjadikan serentetan tawa sambung-menyambung, saling susul. Ada juga seorang teman yang dengan cerdik berkomentar, "Untung dia tidak muntah waktu melihat muntahannya, bisa-bisa dia terus-terusan muntah sampai mampus."

Kebiasaan anehnya itu menjadi lelucon tiap harinya, juga sebagai bahan ejekan untuk mengolok-olok si bocah menyedihkan. Tapi seperti kebanyakan lelucon di dunia ini, lelucon itu pun menjadi membosankan dan garing, karena begitu sering diulang-ulang. Terlebih ketika si bocah menyedihkan itu akhirnya pindah sekolah.

Sehari sebelum pindah ia sempat menemuiku ketika jam pulang sekolah, untuk berpamitan—('berpamitan' mungkin bukan istilah yang tepat, tapi aku tidak tahu mesti menamai apa momen tersebut).

Saat itu ia mengeluhkan banyak hal, utamanya tentang janji yang kulanggar. Aku meminta maaf. Ia bilang, sudah memaafkanku jauh sebelum aku membocorkan kebiasaan anehnya itu—katanya, ia sudah menduga kalau aku akan membocorkannya.

"Lalu kenapa kau mengatakannya padaku?"

"Aku hanya ingin berbagi."

"Aku tidak mengerti."

"Suatu hari kau akan mengerti."

Dan benar katanya, akhirnya aku pun mengerti.

Beberapa hari yang lalu, tanpa alasan yang mampu aku pahami, tiba-tiba saja aku merasa tubuhku menguarkan bau busuk, seolah keringat yang merembes dari kulitku telah bercampur dengan nanah—dan itu membuatku mual. Aku coba menghilangkan bau busuk itu dengan mandi, melumuri sekujur tubuhku dengan busa sabun tebal-tebal. Tapi, bau itu tetap tinggal, tetap melekat, berapa kali pun aku 'mencuci' tubuhku.

Aku coba membungkus bau busuk itu dengan aroma parfum, berharap bisa menghilangkan atau setidaknya menyamarkannya. Tapi bau busuk itu lebih menusuk, malahan setelah berbaur dengan aroma parfum yang terlalu banyak kusemprotkan, bau busuk itu menjadi semakin tajam.

Saat itu aku sempat terpikir untuk membolos, mengambil libur satu-dua hari atau sampai bau busuk di tubuhku itu lenyap. Tapi aku tidak melakukannya, tepatnya tidak bisa dan tidak ingin melakukannya. Aku nekat masuk kerja dengan menyandang bau busuk itu.

Selama bekerja, aku berpikir keberadaanku dengan bau busuk yang kusandang, akan mengganggu rekan kerjaku lainnya. Tapi ternyata tidak ada satu pun yang mengajukan protes padaku, dan itu sempat membuatku heran. Sehingga ketika jam makan siang tiba, aku menemui seorang teman dekatku dan bertanya,

"Apa kau mendapati sesuatu yang aneh pada diriku?"

Temanku itu mengamatiku cukup lama, sebelum berkata, "Ya."

Sudah kuduga, pikirku, ternyata mereka tadi hanya merasa sungkan untuk menegurku.

Tapi perkiraanku itu keliru ketika ia bilang, "Baumu terlalu harum." Lalu ia menyelipkan sebuah lelucon yang tak sanggup membuatku tertawa, "Bau tubuhmu itu bahkan bisa menggantikan pengharum ruangan di kantor kita."

Aku sama sekali tidak membantah.

Hari-hari selanjutnya, bau busuk itu masih saja melekat di tubuhku, kian hari baunya semakin tajam dan memualkan. Aku jadi lebih sering ke toilet untuk muntah, ketika aku tak lagi mampu membendung rasa mual di perut. Tubuhku menjadi sangat lemah, dan atasanku menyuruhku untuk mengambil cuti, hingga aku pulih. Di hari terakhir aku masuk kerja sebelum cuti panjang yang, mungkin saja akan selamanya, aku tersenyum mengejek dan bergumam, "Aku sama sekali tidak sakit. Mereka salah. Tidak ada bangkai yang bisa sakit."

Saat itu aku merasa telah mati.

Lalu dimulailah, babak baru dalam hidupku yang menghancurkanku sejengkal demi sejengkal. Aku banyak merenung, mengingat-ingat hal-hal buruk apa saja yang pernah aku perbuat sehingga aku ditimpa kemalangan semacam ini, tapi tak pernah berhasil kutemukan. Terlalu banyak hal buruk yang telah kuperbuat. Terlalu banyak hingga tak sanggup kuingat semuanya maupun kuhitung. Aku tak pernah lagi beranjak dari tempatku. Aku berak dan kencing dan muntah di atas ranjang. Aku juga tak lagi mengisi perutku. Toh, bagiku itu percuma belaka, jika hanya untuk dimuntahkan.

Mataku tak lagi kuat membuka. Semua menjadi gelap. Kamar yang gelap menjadi semakin gelap. Aku merasa semakin suram. Jadi, beginilah rasanya membenci diri sendiri? Merasa jijik pada diri sendiri? Sesuram inikah? Sebegitu menyakitkan? Ah, baiklah. Aku ... mengerti ...

Komentar

Postingan Populer