Dongeng - Chapter 1

Seekor kucing berjalan dengan lamban di trotoar yang lengang dan remang, seolah sedang menanggung lapar dan kantuk. Caranya berjalan bisa dibilang lucu atau menyedihkan—tergantung bagaimana kau menilai—layaknya mobil yang terus melaju meski salah satu bannya kempes. Itu karena kaki depannya sebelah kanan lebih kerdil dibanding tiga kaki lainnya sejak lahir, sehingga pincang dan jomplang.

Meski begitu, si kucing berhasil menempuh jarak lebih dari lima ratus meter, sebelum ia berbelok ke toko bahan bangunan yang sudah tutup. Di parkiran toko tersebut pedagang angkringan memasang terpal yang dipakainya sebagai atap untuk menaungi beberapa deret kursi plastik; dua meja panjang; sebentuk gerobak yang menampung beragam perkakas dan jajanan dan apa-apa saja yang diperlukan untuk membikin minuman; juga tentunya para pengunjung.

Ketika si kucing memutuskan berbelok ke warung tersebut, seseorang sedang membakar sate usus dan sate krecek di atas arang membara, pesanan salah seorang pengunjung. Asap tipis membumbung ke udara, meruapkan aroma menggiurkan. Barangkali aroma itulah yang mengundang kedatangan kucing itu.

Beberapa menit, sebelum si kucing tiba, di angkringan tersebut sudah ada dua orang pengunjung yang duduk di lain meja, 

Pengunjung pertama, yang datang lima menit setelah kumandang azan Isya', adalah seorang pria berusia delapan puluhan bertubuh kurus dengan kepala nyaris botak dan gigi ompong, yang sedang menikmati roti tawar yang disobek sedikit demi sedikit dan dicelup ke susu-jahe hangatnya. Ia seorang pria kesepian yang baru sebulan ditinggal mati istrinya. Kabar baiknya, ia punya tiga anak lelaki, yang semuanya hidup di tiga kota berbeda, jauh darinya. Di sana ketiganya membentuk keluarga kecil yang bahagia. Mereka rajin mengiriminya uang bulanan lewat ATM, dan sesekali sebuah kabar lewat telepon, juga mengunjunginya setiap lebaran. Selain itu, tidak ada hal menarik lagi darinya. Hidupnya sama menjemukannya dengan masyarakat urban lainnya.

Kalau begitu mari beralih ke pengunjung kedua.

Pengunjung kedua, yang datang lima menit setelah kedatangan pengunjung pertama, adalah seorang wanita usia menjelang empat puluhan yang wajahnya tampak sepuluh tahun lebih muda dari seharusnya. Begitu segar dan cantik. Ia mengenakan kardigan warna biru tua dan celana leging warna hitam dan sepatu bertumit rendah. Ia tampak gelisah. Ia memang sedang menunggu kehadiran seseorang—pengunjung yang akan datang sebentar lagi—tapi sebenarnya ia amat ragu: apa ia benar-benar menginginkan pertemuan ini?

Demi mengurangi kegelisahannya, wanita itu menyalakan sebatang rokok, mengisapnya sebentar, lalu menumbuknya ke asbak, untuk kemudian mengambil sebatang rokok lagi, dan mengulang kegiatan yang sama sebanyak lima kali. Tapi ia tetap saja merasa gelisah.

Tak lama setelah itu, ia memesan sate usus dan sate krecek masing-masing empat tusuk yang kini sedang dipanggang di atas arang membara. Ia tak menemukan alasan menyenangkan, kenapa ia perlu memesan makanan itu, sebab ia sendiri tak menaruh minat pada keduanya. Barangkali, ia sungkan pada si pemilik warung karena hampir setengah jam berlalu dan ia cuma memesan segelas teh manis yang baru ditenggak setengahnya. Atau, mungkin ia memesan makanan itu hanya karena ia ingin dan mampu membayarnya saja—hal itu kadang bisa membuatnya sedikit lega. Entahlah. Satu hal yang pasti, pada akhirnya bila kedua makanan itu selesai dipanggang dan diantar padanya, ia tidak akan melahapnya. Agaknya, si kucing akan kebagian tugas untuk yang satu itu.

Untuk sejenak, wanita itu menoleh ke kotak kardus yang ia letakkan di kursi plastik di sebelahnya. Ia berharap kotak itu dan apa yang tersimpan di dalamnya, akan membantunya malam ini.

Dari sini, kau pun tahu, kalau pengunjung kedualah yang punya cerita bagus, sebab ia menyimpan banyak hal yang belum terkuak dan terjelaskan. Salah satunya, tentang siapa yang ia tunggu tapi sesungguhnya tak ingin ditemuinya. Juga, tentang apa isi dari kotak kardus tersebut dan kenapa ia perlu membawanya. Sepertinya, semua itu layak disimak kelanjutannya.

***

Orang yang ditunggu oleh wanita itu datang beberapa menit kemudian. Ia seorang pemuda usia menjelang dua-puluh tahun, yang penampilannya malam itu tampak seperti gelandangan yang tidak mandi selama berminggu-minggu. Mungkin saja itu benar, karena pakaian dan tubuh si pemuda sangat lusuh dan menguarkan aroma kandang kambing. Lebih-lebih tampangnya terlihat seolah habis dibedaki debu. Hitam dan kotor. Padahal, ia pemuda yang tampan. Namun tidak hanya debu yang menutupi ketampanannya itu, melainkan bayang-bayang topi yang sengaja ia rundukkan lebih dalam.

Si pemuda memilih duduk di seberang meja, berhadapan-hadapan dengan wanita itu, agar lebih leluasa memandang wajah cantik itu. Baru saja ia rampung mendaratkan pantatnya dengan mulus ke kursi plastik, pada saat bersamaan pula pesanan sate usus dan sate krecek si wanita diantar dan ditaruh di tengah-tengah keduanya. Demi sopan santun, si pemuda memesan wedang jahe, yang di luar dugaannya tersaji dengan cepat. Saat ia menyentuh gelasnya, hangat dari wedang jahe itu setingkat dengan hangat di ketiaknya. Itu cuma berarti satu hal, minuman itu sudah dibikin lama sebelum ia datang. Tapi ia tak mengeluhkannya.

"Lama kita 'gak ketemu," kata si pemuda, ada kecanggungan dalam suaranya. Kecanggungan yang bisa ditemui ketika seseorang menahan rindu berat, yang hanya bisa dituntaskan dengan peluk dan cium. Tapi sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk dua hal itu.

"Iya," kata si wanita. Ia cukup terkejut sebenarnya, karena sebelumnya ia tak pernah sepelit itu dalam berkata-kata.

"Kamu ke mana saja selama ini?"

"Saya sibuk."

"Kamu juga 'gak pernah kasih kabar."

"Saya sangat sibuk."

"Nomor kamu juga 'gak aktif lagi," kata si pemuda. "Kamu menghindar dariku, ya?"

Wanita itu tidak menjawab.

"Apa aku ada salah?"

Wanita itu tetap bungkam, tetapi ia menggeleng.

"Benar, aku 'gak salah apa-apa?" tanya si pemuda. "Tapi kenapa kamu menjauh?"

"Kamu tidak salah apa-apa. Saya yang salah."

"Maksudmu?"

"Ada yang ingin saya jelaskan."

"Kita ketemu memang untuk itu, bukan?"

Lalu wanita itu kembali diam, memandang kotak kardus di sebelahnya dengan takzim, menimbang-nimbang apa sekarang adalah saat yang tepat untuk menunjukkannya.

Si kucing pincang mendekat ke kursi wanita itu dan berada di jarak pandangnya, membuat ia mengalihkan fokusnya dari kotak kepada hewan "berkaki tiga" itu. Si kucing duduk sambil mendongakkan wajah berkumisnya yang mengiba dan mengeong. Wanita itu tahu apa yang diharapkan kucing itu.

"Kamu lihat apa?" tanya si pemuda. "Ada sesuatu yang mau kamu kasih ke aku?"

"Hanya seekor kucing. Bukan hal penting," kata wanita itu, sambil memalingkan wajah ke sepiring sate usus dan sate krecek di depannya. Ia mengambil setusuk sate krecek, mendekatkannya ke mulut, seolah hendak memakannya. Namun geraknya terkunci sampai di situ saja.

Si pemuda sedikit memundurkan pantatnya, lalu merundukkan punggung dan kepalanya, mengintip kolong meja. Ia mendapati si kucing pincang dan kedua kaki si wanita yang terbalut leging dan kursi plastik dan sebentuk kotak kardus. Tiga hal pertama tak membuatnya penasaran. Tapi yang terakhir, membuatnya bertanya-tanya.

"Kotak apa itu?" Si pemuda kembali menegakkan punggungnya, menatap si wanita.

Ditodong pertanyaan semacam itu, si wanita cukup terkejut dan merasa gugup. Ia meletakkan sate krecek yang dipegangnya, ke piring. Kemudian tangannya meraih teh manis di dekatnya.

"Mau kamu berikan ke aku?" tanya si pemuda, seolah menuntut penjelasan segera. "Apa isi—"

Wanita itu mengangkat tangan kirinya, guna memberi aba-aba pada si pemuda untuk diam sebentar, lalu menenggak teh manisnya hingga tandas.

Setelah agak lega, ia siap untuk bicara.

"Sebelum saya kasih kotak itu ke kamu, saya mau bicara."

"Ya?"

Keheningan berlangsung selama sekian detik.

"Saya mau ... kita putus," kata wanita itu akhirnya. Lalu, seolah kalimat barusan terlalu kejam untuk didengar, ia menambahkan, "Maaf."

"Aku 'gak salah dengar?"

Si wanita menggeleng.

"Kamu mau kita—" si pemuda mengambil jeda, seolah satu kata di ujung kalimatnya adalah kata yang baru saja dikenalnya dan ia sedang mencoba mencernanya sebaik mungkin, sebelum akhirnya ia menuntaskannya, "—putus?"

"Iya."

"Tapi kamu bilang aku 'gak salah apa-apa."

"Kamu memang tidak salah, sayalah yang salah."

"Tapi kenapa?"

"Saya ingin sekali menjelaskan alasannya ke kamu, tapi ... sangat susah bagi saya untuk mengatakannya." Lalu wanita itu berpaling ke kotak kardus di sebelahnya, memungutnya, meletakkannya di atas meja. Ia menggeser piring dan asbak yang ada di tengah-tengah mereka ke sisi kanan; sebelum ia mendorong kotak kardus itu ke depan si pemuda, dan berkata, "Saya harap ini bisa membantu kamu memahami alasannya."

Si pemuda hanya diam memandangi kotak tersebut.

***

Jika dilihat sepintas, si pemuda memang hanya sedang diam sambil memandangi kotak di depannya. Namun, di dalam batok kepalanya, otaknya sedang sibuk berpikir, tepatnya mengingat-ingat.

Apabila bisa digambarkan, kini si pemuda sedang berdiri di depan lemari tempat ia menyimpan ingatan-ingatan tentang pengalaman-pengalaman hidupnya yang cukup berkesan sehingga otak merasa perlu mempertahankannya alih-alih melupakannya. Lemari yang menampung kenangan-kenangannya. Dengan tekun, si pemuda meneliti satu demi satu kenangan yang pernah dijalaninya dengan wanita itu, berharap menemukan sesuatu yang tidak beres agar ia bisa memperbaikinya dan mencegah perpisahan mereka.

Sementara si pemuda sedang sibuk bergelut dengan kenangan-kenangannya; saya, sebagai pemandu cerita, ingin mengajakmu mengenal sosok si pemuda dengan lebih mendalam, menggali masa lalunya. Lalu, perlahan-lahan kita akhirnya akan sampai di saat ia bertemu dengan wanita itu, mengenalnya, jatuh cinta padanya, dan menjalin hubungan yang kini berada di ambang perpisahan. Kau juga nantinya akan mengenal siapa si wanita, juga yang terpenting, mengetahui dan memahami alasan di balik keputusannya itu. Tapi kau perlu meyakini satu hal, bahwa waktu untuk sampai ke sana masihlah sangat lama. Sebab, saya akan mengajakmu menengok masa kecil si pemuda. Saya berharap kau bisa bersabar.

***

Komentar

Postingan Populer