Menghadap Sekaligus Memunggungi


Sumber gambar: http://www.bookvar.rs/

Dunia ini memang dibentuk dari beragam paradoks. Begitulah yang kupikirkan.

Misalnya,

Bumi, objek yang kita tinggali; tempat kita hidup, tumbuh, berkembang biak dan mati; adalah sesuatu yang bundar. Seperti bola. Yang lucunya dahulu orang mengira bumi ini seperti bentangan karpet di ruang tamu, atau bahkan berbentuk kubus seperti mainan rubik 3x3.

Karena objek yang kita tinggali bundar, maka akan berlaku pula keliling lingkaran yang menyambung, seolah tak berhingga, tak pernah putus. Berhubungan. Seperti kala kita mengambarnya: Kita memulainya di satu titik dan berakhir pula di titik yang sama.

Sehingga, ketika (anggaplah) orang A sedang berhadapan muka dengan orang B di satu momen, karena objek yang kita tinggali ini bundar, otomatis keduanya juga saling memunggungi di waktu yang sama. Berlaku pula sebaliknya. Ketika mereka saling memunggungi, di saat yang sama, mereka juga saling berhadapan.

Yang membedakan, cuma jarak.

Di satu momen, jarak saat kita bertemu muka, lebih pendek dari jarak ketika kita saling memunggungi. Ini bisa terjadi, misal, ketika seorang pria sedang berkencan dengan seorang gadis di sebuah restoran dan tengah duduk berhadap-hadapan di satu meja. Jarak saat mereka bersipandang hanya selebar meja. Sementara jarak saat saling memunggungi bisa diukur atau ditarik sebuah garis imajiner dari punggung si pria hingga bertemu dengan punggung si gadis. Dan ingat, kedua hal itu terjadi dalam satu momen.

Dan, ketika kita saling memunggungi (dalam jarak dekat), misal, ada sepasang kekasih tengah bertengkar dan memutuskan untuk duduk saling membelakangi di bangku panjang, di sebuah taman. Keduanya menempati masing-masing ujung bangku itu. Jarak saat saling memunggungi hanya sebatas panjang bangku taman itu. Hanya berjarak punggung bertemu punggung. Sementara jarak saat saling menghadap dihitung dari muka si gadis sampai mentok di titik di mana muka si pria berada. Yang artinya itu hampir sepenuhnya mengelilingi bumi.

Satu kesimpulan yang dapat kuambil dari paradoks semacam ini: bahwa yang dimaksud menghadap dan membelakangi secara umum, barangkali, adalah satu kondisi saat kita saling bertemu muka atau saling memunggungi dalam jarak dekat. Begitulah persepsi yang kadung kita pahami.

Namun, dengan adanya paradoks ini, aku mendapat sebuah keuntungan. Kalau satu kali pacarku ngambek dan memilih menghadapkan punggungnya padaku, maka yang perlu kulakukan hanya berbalik badan, berdiri membelakangi punggungnya. Karena hanya dengan begitulah, wajah kami bisa bertemu muka. Bersipandang. Meskipun perlu menempuh jarak yang jauh.

Dan, jika ia berbalik badan, menghadap punggungku, dan bertanya padaku, kenapa aku ikut-ikutan memunggunginya? Aku cuma perlu berbalik badan, menghadap mukanya itu, sambil tersenyum.

Karena...

Kami saling berpandangan kembali, bertemu muka kembali, namun, kali ini, dalam jarak yang cukup dekat.

Heuheuheuheu...

Komentar

Postingan Populer