Angin yang Membuat Kita Tuli

Gesekan angin di telinga kita, membuat kita sekejap tuli. Tuli dalam arti kita tak bisa saling mendengar apa yang kita bicarakan. Karena angin begitu gemuruh. Ribut. Mengusir segala bunyi yang mendekat ke telinga kita.

"Kita harus pergi," kataku, yang sudah pasti tak kau dengar. Jelas hanya menghasilkan kebungkaman semata dari bibirmu.

Kupikir, hanya bahasa tubuh yang bisa menjelaskan kata-kataku di kondisi sekarang. Maka aku meraih tanganmu yang terulur lemas ke bawah seolah tanpa otot dan menggenggamnya erat.



Aku harus menarikmu dari berisik dunia yang dipenuhi kelebat udara.

Dan kau berpaling kepadaku. Seutas senyum terkulum di bibirmu.

"Ayo!" Aku mengangguk. Bersiap beranjak.

Langkahku yang terlanjur terayun harus berhenti, ketika tubuhmu tak bergeser satu senti pun. Seolah kakimu tertanam di tanah serupa akar tumbuhan.

Kulihat kau menggeleng. Dan itu artinya tidak.

"Kenapa?!"

Kau diam. Aku tahu alasanmu. Kau tak mampu mendengarku karena angin terkutuk ini.

"K-E-N-A-P-A?!"

Aku yakin urat leherku kini menegang. Itu adalah suara terkeras yang pernah kuhasilkan selama hidupku.

Kau tetap diam. Matamu kini serupa kolam yang hampir tumpah ruah.

Hanya dibutuhkan satu kedipan saja, untuk bisa dikatakan menangis.

"Ken—?"

Aku hampir saja bertanya untuk ketiga kalinya, jika saja kau tak lekas memelukku. Kedua lenganmu kini mengikat tubuhku.

"Jangan jadi pengecut!" katamu, atau setidaknya itulah yang bisa kutangkap saat bibirmu mendekat dan bicara ke telingaku. "Kita tak boleh lari!"

Aku tak mengerti.

"Badai pasti berlalu!" kau berseru. Air matamu menggenang di pipi. "Badai pasti berlalu!"

Aku bisa merasakan basah di bagian dada kemeja putihku. Kutahu, cucuran air matamu begitu deras.

"Apa benar?"

Meski aku tak melihat wajahmu yang terbenam di dadaku, dan hanya memandangi langit, kutahu kepalamu sedang menggeleng. Saraf-saraf di kulitku masih begitu peka merasakannya.

"Jangan pernah berlari!" Lagi, kau berseru.

"Tidak." Tanganku yang semula hanya menjulur lemas mengikuti gravitasi, beringsut mendekapmu.

Lalu kukecup rambutmu.

"Kita harus berlari," kataku, "tetapi bukan untuk menghindar, melainkan untuk menghadapi."

Kau mencengkeram tubuhku lebih erat. Membenamkan wajahmu lebih dalam ke dadaku. Dan mengangguk.

"Jangan takut."

Komentar

Postingan Populer