Hanya Bus yang Sama

(Link : https://ichef-1.bbci.co.uk )

Hujan baru saja reda semenit yang lalu dan aku langsung saja meloncat keluar dari kamar kosanku yang sumpek, seolah-olah aku sudah menantikan saat-saat ini sejak seabad lalu. Udara malam itu jadi agak dingin, namun aku enggan memakai jaket. Dan terbukti itu bukan keputusan tepat, sebab tubuhku mulai menggigil.

Untuk menghalau dingin yang merambati tubuhku, aku memasuki sebuah kedai dan memesan secangkir kopi hitam juga sepiring roti panggang. Kebetulan yang berjaga di kedai saat itu adalah teman lamaku—Sarip, namanya—sehingga setelah ia mengantar pesananku, alih-alih kembali ke belakang mejanya, ia malah duduk bersamaku. Ia mengajakku mengobrol. Mumpung sepi, katanya.

Sarip mengatakan banyak hal dan aku menanggapinya dengan cukup memuaskan, setidaknya itu menurutku. Lagi pula aku tahu itu basa-basi belaka, sebuah jalan memutar yang membingungkan sebelum ia sampai pada obrolan inti. Aku menunggu hingga basa-basi itu tuntas dan ternyata hanya bertahan kurang dari lima belas menit. Bagaimana aku bisa tahu basa-basinya berakhir? Ada ratusan petunjuk sebenarnya, namun satu yang paling kuat adalah: perubahan suara Sarip dari jenaka menjadi dalam dan serius.

Ia bercerita soal istrinya yang sikapnya tiba-tiba berubah, hingga ia hampir tak bisa mengenalinya lagi, seperti orang lain saja.

Mereka baru sebulan menikah, dan mendengar keluhannya ini aku jadi tersenyum geli—senyum yang setengah mati aku samarkan dari wajahku agar tidak menyinggung perasaannya. Lalu aku berkata, turut sedih mendengarnya. Ia mengucapkan terima kasih atas kepedulianku.

Dan tiba-tiba terbentik sesuatu di benakku, percikan ingatan tentang kejadian di beberapa waktu lalu. Pemicunya barangkali keluhan temanku ini.

"Mau dengar sebuah cerita?" kataku, seraya menggigit sisa roti panggangku dan menghabiskannya.

"Cerita siapa?"

Aku mesti menelan roti di mulutku lebih dulu, sebelum menjawab:

"Ceritaku."

"Apa menarik?"

"Mungkin saja."

"Coba kau ceritakan."

Lalu aku mulai bercerita.

***

Kejadian ini berlangsung sekitar sebulan lalu. Malam itu aku baru pulang bekerja dan menaiki bus (sudah tiga bulan ini aku naik bus untuk pulang-pergi ke kantor). Bus sedang tidak terlalu ramai, namun juga bukan berarti sepi. Ada beberapa penumpang di sana yang semuanya tidak aku kenali sama sekali. Memang ada sebagian orang, di hari-hari sebelumnya, pernah berada satu bus denganku, bahkan duduk sekursi denganku, tapi kami tidak pernah saling mengobrol maupun berkenalan, karena kami lebih tertarik dengan urusan masing-masing. Lagi pula aku memang tidak pandai membuka percakapan. Malam itu aku duduk anteng di deretan kursi bagian tengah, sebelah kiri, sendirian merapat di jendela. Untuk membunuh waktu, aku membuka situs onlen yang memampang cerpen-cerpen koran, membaca, sambil sesekali memandang ke luar jendela untuk memastikan sudah sejauh mana bus melaju. Tidak ada keanehan terjadi selama setengah jam perjalanan. Keanehan—atau tepatnya keteledoran—itu muncul menjelang aku sampai di jalan dekat rumahku. Alih-alih bersiap untuk beranjak dari kursi dan mendekati pintu seraya mengucapkan: "Kiri!" ke sopir, aku malah menyamankan diri di kursi dan lanjut membaca, setelah memandang sekilas jalan masuk ke rumahku dari jendela. Seperti orang tolol, saat itu aku berpikir bus itu akan berhenti dengan sendirinya tepat di depan jalan masuk ke rumahku, menganggap sopir itu tahu di mana aku akan turun—padahal ketika aku naik dan membayar ongkos, tak memberitahu di mana aku akan turun. Aku segera menyadari itu sebuah kekeliruan yang tidak perlu dilakukan, setelah bus melaju sekitar seratus meter lebih dari jalan masuk ke rumahku. Langsung saja aku bangkit dari kursi dengan ransel masih di pelukanku dan berteriak keras-keras: "Kiri! Kiri!" Laju bus segera melamban dan aku bergegas turun sambil berusaha menaruh ranselku di punggung dan berjalan kaki menuju jalan masuk ke rumahku.

***

"Lalu apa hubungannya dengan masalahku?" tanya Sarip, keningnya agak berkerut, memandangku lurus.

"Begini—" kataku memulai, lalu diam sebentar mencari penjelasan yang paling gampang yang terpikirkan olehku, dan aku mendapatkannya, "—bus yang sama, tapi sopir yang berbeda."

Tapi temanku itu tetap tidak paham. Dan aku tidak peduli. Kami kemudian membuka papan catur, memasang bidak-bidak di posisi mereka masing-masing dan memainkannya.

Komentar

Postingan Populer