Hanya Oral

Suatu malam aku mengobrol dengan seorang temanku. Ia adalah seorang anak muda yang sangat bersemangat. Rambutnya gondrong, agak berombak, dan ketika tidak sedang dikuncir, kombinasi rambut dan tampangnya akan mengingatkanku pada pesulap yang suka menggendong burung hantu di bahunya.

Kami mengobrolkan banyak hal. Tentang gadis dari negara mana yang lebih memukau—aku memilih gadis Rusia sedangkan ia memilih gadis Jepang dan aku langsung menyindirnya dengan berkata, "Ikeuh." dan ia tertawa. Tentang trailer film "Tomb Raider" terbaru, dan sama-sama mengutuk pengganti Angelina Jolie yang kami anggap kurang seksi. Tentang perseteruan ojek online dan sopir angkot—dan akhirnya kami memilih untuk tidak peduli, mengingat kami masih punya motor pribadi. Tentang dangdut koplo—ia sepakat kalau dangdut jenis itu asyik, sedangkan aku menganggapnya sebagai perusak musik dangdut sebenarnya. Tentang apa pun yang terlintas di kepala kami.

Lalu di jeda sebelum melanjutkan obrolan berikutnya, aku berkata, 

"Rambutku sudah agak panjang." Aku menyisir tangkai-tangkai rambutku yang jatuh di dahi ke belakang dengan jemariku. "Aku mesti segera memangkasnya."

Dan ia tertawa, seraya berkata,

"Rambut yang mana?"

Jika dibandingkan dengan rambutnya, rambutku memang terlihat sangat pendek. Hanya saja aku memang tidak terbiasa dengan rambut panjang.

"Anjing," timpalku, seraya tertawa. "Memang rambut yang mana lagi? Tidak mungkin kau ke tukang cukur dan menunjukkan 'anumu' yang gondrong itu untuk dibabat habis rambutnya."

"Tapi aku pernah melakukannya."

"Sungguh?" Aku benar-benar terkejut. Ia selalu sungguh-sungguh dengan ucapannya.

Lalu ia bercerita:

Suatu hari ia pergi ke sebuah salon untuk memangkas rambutnya—saat itu belum terpikir olehnya untuk memanjangkan rambut. Penjaga salon itu adalah seorang wanita usia kisaran tiga puluhan awal dengan dada terisi penuh di balik kaos singlet dan bokong sebesar melon. Ia duduk di kursi dan wanita itu menjalankan tugasnya. Ketika hampir selesai, iseng saja ia berkata pada wanita itu,

"Bisa tidak memotong rambut yang 'itu'."

Ia sudah siap dengan penolakan, ketika tiba-tiba wanita itu mencubit pipinya dengan gemas, dan berkata, "Tentu bisa."

Tak lama kemudian, wanita itu menuju pintu dan menguncinya. Lalu membalik papan-tanda di depan pintu dari "buka" ke "tutup", dan kembali ke kursi.

Lalu terjadilah sesuatu yang melegakan antara ia dan wanita itu—tentu saja yang aku maksud di sini bukan hanya soal mencukur rambut di "bagian itu".

Aku bertanya, "Kalian bercinta?"

"Tidak," katanya, "hanya oral."

"Pasti menyenangkan?"

"Pada awalnya," katanya, "tapi tidak setelahnya."

"Setelah apa?"

Yang ia maksud adalah, belakangan ia tahu kalau wanita di salon itu adalah seorang waria.

Aku tertawa keras sekali, sampai orang-orang di sekitar menoleh ke arah kami.

"Ya, ampun. Ya, ampun." Aku masih tertawa sambil menggebrak-gebrak meja. "Lucu sekali. Ya, ampun. Aku bersumpah itu akan jadi kisah yang menarik jika yang 'menyedotmu' itu perempuan asli."

Ia tersenyum, mengisap rokoknya dan mengembuskannya dengan gaya, lalu menanggapi,

"Kau salah. Itu akan jadi kisah menarik jika aku tidak tahu kalau dia seorang waria."

Aku mendadak diam, tawaku lenyap seolah tenggelam dalam lambungku.

Karena, aku tahu ia benar.

Komentar

Postingan Populer