Apa Susahnya Bertahan Sih?

Aku ada di sini sendirian, duduk di sofa menonton pertandingan bola yang membosankan pada tengah malam. Sebenarnya aku tidak bisa dikatakan benar-benar menontonnya, istilah yang tepat untuk menyebut apa yang aku lakukan saat ini adalah melamun dengan mata menatap lurus ke televisi. Aku tidak tahu siapa yang menggiring bola, siapa yang melakukan sundulan tepat di mulut gawang, siapa yang melakukan tendangan jarak jauh dari luar kotak penalti, bahkan aku lupa sudah berapa lama waktu berlalu. Yang aku lihat hanya bola yang memantul dari satu orang ke orang lainnya, tidak lebih. Dan aku menyadari pikiranku sedang berkeliaran di udara, berputar-putar di atas kepalaku, seperti ngengat yang mengitari sinar lampu.

Aku pernah mengalami masa indah jika dibandingkan dengan masa yang aku lalui sekarang. Kenangan semanis dan selembut permen kapas. Dan itu terjadi ketika aku masih bersamamu. Aku ingat ketika kita pertama kali bertemu, kita jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi kita sadar saat itu terlalu awal untuk mengungkapkan cinta, sehingga kita menjalin pertemanan yang aku pikir-pikir sebenarnya hanya buang-buang waktu saja. Pada dasarnya kita sudah saling jatuh cinta dari awal dan aku pikir itu sudah cukup menjadikan kita sepasang kekasih, tidak perlu buang-buang waktu dengan tetek-bengek pertemanan sialan itu. Tapi aku bersyukur akhirnya kita tak perlu lama-lama berteman. Dua minggu setelah pertemuan kita yang pertama, kita berpacaran.

Semua berjalan lancar, hubungan kita benar-benar menyenangkan, sampai aku berpikir bahwa aku tidak lagi butuh apa pun dari dunia ini, selain kebahagiaan ini. Aku tidak punya tujuan apa pun selain menikah denganmu dan beranak-pinak. Persetan dengan para orang cerdik pandai yang mengatakan itu impian yang terlalu "normal", terlalu sederhana. Lagi pula tidak ada salahnya jadi normal.

Lalu satu malam aku melamarmu, dan aku ingat kau berkata,

"Sebaiknya kita memang menikah, sebelum dunia semakin memburuk."

Aku tertawa mendengarnya. Benar, dunia memang sedang kacau-balau, dan agaknya tidak lama lagi bakal jadi remuk menjadi debu. Dan saat itu terjadi aku pikir pernikahan akan jadi sesuatu yang mustahil.

Sebulan kemudian kita menikah.

Dalam hari-hari saat kita bersama dan bahagia yang diisi dengan cinta dan cinta, aku sering bertanya-tanya pada diri sendiri, "Akankah semua ini bertahan selamanya?" Dan setan kecil di kepalaku berkata dengan keisengan yang membikin aku kesal: "Memang adakah yang abadi di dunia?" Aku kesal karena ia benar. Memang adakah yang abadi di dunia ini?

Dan beginilah akhirnya, aku duduk di sofa sendirian menonton pertandingan bola yang membosankan pada tengah malam. Sebenarnya aku tidak bisa dikatakan benar-benar menontonnya, istilah yang tepat untuk menyebut apa yang aku lakukan saat ini adalah melamun dengan mata menatap lurus ke televisi. Aku tidak tahu siapa yang menggiring bola, siapa yang melakukan sundulan tepat di mulut gawang, siapa yang melakukan tendangan jarak jauh dari luar kotak penalti, bahkan aku lupa sudah berapa lama waktu berlalu. Yang aku lihat hanya bola yang memantul dari satu orang ke orang lainnya, tidak lebih. Dan aku menyadari pikiranku sedang berkeliaran di udara, berputar-putar di atas kepalaku, seperti ngengat yang mengitari sinar lampu.

Tiba-tiba peluit panjang berbunyi. Aku tidak tahu itu akhir babak pertama atau kedua. Aku lihat skor beserta waktu pertandingan yang muncul di tengah-tengah layar televisi. Akhir babak kedua. Skor imbang. Tiga sama. Antara Liverpool dan Sevilla. Satu gol penyeimbang diciptakan Sevilla di waktu tambahan babak kedua. Dan aku mengumpat:

"Apa susahnya bertahan sih?"—entah untuk apa dan siapa.

Komentar

Postingan Populer