MEJA NOMOR 21

Ajaklah ia ke satu keramaian, tempat orang biasa berbincang dan terbahak dan berdansa. Dalam sekejap ia akan jadi patung yang setia pada satu gerak saja: duduk—dari mulai sampai tuntasnya keramaian itu.

Ia tak pandai memulai obrolan; juga sangat payah menanggapi dialog yang dilontarkan oleh seseorang. Ia lebih puas dengan diamnya. Gembira dengan pikirannya.

Ingin sekali aku menghampirinya, lalu memulai basa-basi singkat yang lebih mementingkan kelucuan dibanding keseriusan yang serbaformal, semisal bertanya: Pernahkah kau membayangkan bagaimana Toni Stark menggaruk selangkangan atau ketiak atau bagian tubuh lainnya yang gatal, saat masih mengenakan baju tempurnya?

Dan, setelah kami saling mengajukan pertanyaan konyol untuk menjawabnya dengan jawaban yang lebih konyol lagi, dan saling tertawa, sama-sama merasa senang, aku akan mengajaknya turun ke lantai dansa, dan menari ala belalang sembah—berdiri dengan kedua kaki ditekuk mengangkang, dan kedua tangan bergerak maju mundur secara bergantian seperti petinju yang siap bertarung.

Tapi aku masih duduk di meja nomor 21, sendirian, masih mengumpulkan keberanian untuk melakukan itu semua, menunggu waktu yang tepat.

Namun sampai keramaian itu usai, aku masih duduk di mejaku, meja nomor 21, sendirian, mengumpulkan keberanian yang tak pernah cukup, sementara waktu sudah habis.

Aku beranjak dari kursi, menuju pintu keluar untuk pulang.

Saat aku bangkit dari kursi, ia juga mulai meninggalkan mejanya.

Saat aku menuju pintu keluar, dalam waktu bersamaan ia juga menuju pintu keluar.

Di ambang pintu, aku berhenti, lalu menoleh ke belakang, ke meja tempat ia duduk sebelumnya. Meja nomor 21. Mejaku. Mejanya. Meja kami.

Kulihat, ia juga menoleh ke meja yang sama.

Meja nomor 21. Mejanya. Mejaku. Meja kami.

Komentar

Postingan Populer