Amuk Massa

Dalam waktu kurang dari dua-puluh empat jam, Jim telah ditimpa lebih dari tiga kesialan. Kesialan pertama terjadi pada hari Minggu sekitar pukul delapan malam. Saat itu ia tengah mentraktir kekasihnya makan bakso di warung pinggir jalan langganannya. Jim merasa sangat senang kala itu, lantaran setelah lebih dari tiga minggu ia tak bertemu dengan kekasihnya yang akhir-akhir ini jago membikin beragam alasan yang agaknya bertujuan untuk menjauhinya. Jim sempat mencurigai itu. Hanya saja, entah bagaimana, tiba-tiba kecurigaan itu lenyap begitu ia melihat wajah kekasihnya yang di matanya tetap terlihat cantik dan memesona.

Tanpa benar-benar disadarinya, di pertemuan malam itu, Jim telah menjelma sebuah radio yang terus mengocehkan banyak hal, sementara kekasihnya bertingkah seperti pendengar yang acuh tak acuh. Hingga akhirnya ia dilabrak kecanggungan, ketika bahan obrolannya habis dan ia merasakan keheningan menjadi hidangan yang mendampingi dua mangkok bakso dan dua gelas es jeruk yang kini berada di antara keduanya.

"Kamu tak banyak bicara hari ini," kata Jim setengah bercanda, berusaha memecah kecanggungan. "Biasanya kamu cerewet."

Tetapi candaan itu tak mendapat balasan setimpal. Justru suasana mendadak menjadi sangat serius.

"Jim," kata kekasihnya, nyaris datar. "Ada yang ingin kuakui."

Lalu gadis itu mengaku kalau ia tengah menjalin hubungan dengan cowok lain, dan ia ingin mengakhiri hubungannya dengan Jim. Bagaimanapun, katanya, cinta tak bisa dipaksakan dan ia tak ingin membuat Jim lebih terluka lagi. Ia juga meminta maaf atas pengkhianatan itu dengan memasang wajah mengiba layaknya pengemis yang mengharapkan derma. Tentu saja itu palsu belaka.

"Kita masih bisa berteman, bukan?" kata gadis itu.

Menurut Jim, ucapan barusan tak lebih dari omong kosong semata. Ia sama sekali tak mau berteman dengan pengkhianat.

Jim merasa sangat kesal. Ia menggaruk belakang kepalanya dengan kasar dan gusar menggunakan kedua tangannya sekaligus, sambil mendesah dengan sejelas-jelasnya.

Di seberang meja, kekasihnya duduk dengan gelisah, seakan tengah bersusah-payah menahan kentut. Terlebih ketika Jim mendelik ke arahnya dan tiba-tiba saja meraih botol saus. Ia pikir, Jim akan mementungnya.

Gadis itu langsung lega, ketika Jim ternyata cuma bermaksud menuangkan saus ke baksonya. Namun kelegaan itu rupanya hanya jebakan. Karena setelah menuang saus ke baksonya, Jim juga menuangkan saus itu ke bakso gadis itu. Mantan kekasihnya itu dibuat terkejut.

"Jim," kata gadis itu, "kau tahu, kan, aku 'gak suka pakai saus dan kecap."

"Memang siapa bilang kamu yang akan makan ini," kata Jim. "Dua-duanya milikku." Lalu ia menusuk bakso ukuran besar dari mangkuk si gadis dan melahapnya dengan rakus.

Sudah jelas, itu sindiran supaya gadis itu minggat dari hadapannya.

***

Setelah kejadian itu, semalaman Jim tak bisa tidur dengan nyenyak. Ia lebih banyak terjaga. Akibatnya ia bangun kelewat siang dengan perasaan sangat buruk. Tentunya, ia terlambat masuk kerja, dan membolos sepertinya menjadi pilihan yang masuk akal. Namun ia tetap saja berangkat. Keputusan yang kemudian disesalinya.

Jim sampai di gerai fotokopi tempatnya bekerja sekitar pukul sembilan pagi. Terlambat satu jam. Bosnya yang bertampang menyebalkan menegurnya meski Jim sudah meminta maaf dan memberi alasan yang logis bagi keterlambatannya. Untuk mengakhiri ceramah soal kedisiplinan dan ketepatan waktu, Jim bersedia dibayar separuh gaji untuk hari itu. Dan, kejadian itu bisa dibilang sebagai kesialan Jim yang kedua.

Kesialan Jim yang selanjutnya terjadi dua jam kemudian. Datangnya dari seorang pria berpakaian necis dengan potongan rambut klimis, yang datang ke gerai fotokopi itu untuk melaminating ijasah S1 miliknya. Pria itu agaknya begitu bangga dengan ijasah itu, sehingga ia mewanti-wanti Jim agar berhati-hati. Tidak boleh cacat sedikitpun.

Sejujurnya, Jim kurang peduli dengan peringatan semacam itu. Dan dengan perasaannya yang sedang sangat murung, ia semakin berhasrat mengabaikannya, meski tanpa benar-benar disadarinya. Terlebih ia merasa ahli menangani pekerjaan itu.

Dan itulah asal dari kesialannya berikutnya. Setelah menyalakan mesin laminasi, ia menunggu mesin itu mencapai panas yang tepat yang ditandai dengan menyalanya lampu hijau, sambil memasukkan ijasah itu ke plastik laminating. Sesaat setelah lampu hijau menyala, ia menyelipkan ijasah yang sudah dibungkus plastik itu di antara dua roll karet yang tengah bergerak untuk diantar masuk ke pemanas secara perlahan. Saat itu ia melupakan satu hal yang benar-benar penting: Mesin laminasi itu adalah mesin lawas yang kinerjanya kurang beres. Seharusnya, ia memasukkan lebih dulu kertas ukuran kuarto yang sudah dilipat di tengah, lalu menyelipkan ijasah yang sudah dibungkus plastik itu ke dalam lipatan kertas itu demi menghindari menekuknya ujung plastik. Akhirnya, terjadilah hal yang tak dikehendakinya. Ujung plastik itu tertekuk tak keruan, dan setelah keluar dari pemanas, tampaklah kerutan-kerutan di plastik yang kadung menempel dengan ijasah, serupa kulit manusia yang diguyur air mendidih.

Jim bisa merasakan di keningnya muncul butir-butir keringat ganjil. Mulutnya mendadak kering seperti ember bocor. Ia panik. Sangat panik.

Jim mencoba memperbaiki kesalahannya. Ia memasukkan kembali ijasah yang sudah dilaminasi itu ke pemanas. Kerutannya mengecil, tapi masih tampak jelas. Ia memasukkannya lagi. Sial. Kerutannya malah makin banyak, bahkan di ujungnya plastik itu seakan meleleh dengan setitik warna cokelat gosong. Jim melihat mesin laminasi itu berasap tipis. Sial. Panas dari mesin itu lebih cocok untuk memanggang sate.

Jim pikir ia tak lagi punya jalan keluar, selain meminta maaf atas kecerobohannya pada si pelanggan. Dan ia melakukannya.

Seperti yang Jim duga, si pelanggan murka. Jim minta maaf lagi. Si pelanggan masih terus mengumpatinya. Jim minta pemakluman. Si pelanggan menuntut tanggungjawabnya. Jim menjelaskan ia sudah berusaha sebaik mungkin untuk memperbaikinya. Si pelanggan tak mau dengar, bilang jika Jim sudah berusaha sebaik mungkin ijasah itu tidak akan cacat seperti sekarang. Lagi-lagi, Jim minta maaf. Si pelanggan mengancam akan melaporkannya ke polisi. Jim terus terusan minta maaf dan mohon pemakluman. Si pelanggan mengadukan Jim ke bosnya.

Si pelanggan akhirnya berunding dengan bosnya, dan mendapat kesepakatan bahwa Jim mesti mengganti kerugian si pelanggan dengan uang sebanyak sejuta rupiah jika tak mau memperpanjang urusan. Jim menerima keputusan itu dengan sangat terpaksa. Bosnya membayar uang itu dan Jim akan menggantinya dengan gajinya.

Usai mendapat ganti rugi, si pelanggan pergi dengan wajah yang masih cemberut namun juga terlihat puas, meski samar-samar. Tetapi itu sudah cukup untuk menambah kekesalan Jim. Setelah si pelanggan meninggalkan gerai fotokopi itu, Jim menendang sebentuk bufet dan membuat salah satu pintunya ringsek. Ia cukup terkejut dengan apa yang ia perbuat barusan, lebih-lebih hasilnya. Ia tak tahu mana yang lebih bertanggung jawab atas ringseknya pintu bufet: sepakannya yang terlalu keras atau kayu yang sudah sangat lapuk. Yang mana pun, tingkahnya itu membuat kawan-kawannya terkejut dan mengundang amarah bosnya.

"Maaf, bos," kata Jim, menyesal. "Aku terbawa emosi."

"Ada baiknya kau membawa emosimu itu pulang," kata si bos. "Dan jangan kembali lagi."

Jim terkejut mendengarnya, dan minta diberi kesempatan.

"Pergilah, bajingan, dan jangan kemari lagi!"

"Oke," kata Jim. "Setidaknya aku gajian lebih awal."

"Apa kau pura-pura lupa? Kau berpikir ini pementasan drama, heh?" kata si bos. "Kau berhutang sejuta padaku, dan barusan kau merusak bufetku, lalu dengan entengnya kau minta gaji. Apa kau sinting?"

Jim sungguh ingin menghajar bosnya itu. Ia yakin bisa membikin wajah pria tua gendut itu lebam. Tapi ia tak mau melakukannya. Ia tak mau menambahi perkara yang sudah runyam.

Tanpa bicara, Jim mencangking ranselnya dan pergi. Ia menunggangi honda astrea-nya, menghidupkannya, memutar gas berkali-kali seolah hendak memanasi mesin sehingga terdengar bunyi menggeram dan batuk-batuk seperti suara monster yang berusaha membuang dahak, sebelum ia menginjak kopling dan melaju dengan ugal-ugalan.

***

Jim sangat ingin berteriak supaya lega. Seolah dalam dadanya kini sedang penuh sesak dengan gelembung-gelembung udara yang seakan menggumpal dan panas seperti arang yang sedang membara. Ia bisa merasakan paru-parunya terbakar hebat.

Selain itu, Jim juga ingin mengirimkan bogem dan sepakannya ke sesuatu yang bisa membantunya untuk lega dari letupan amarah, selayaknya seorang pria yang perlu mengeluarkan sperma dengan cara apa pun saat sedang dikuasai libido. Ia butuh pemuas.

Keinginan itu jadi semakin mendesak, ketika matahari sedang amat terik dan membuat jalanan beraspal menyerap panas berlebih. Belum lagi debu-debu yang berhamburan dan semburan asap knalpot dan kemacetan, yang ikut ambil bagian untuk kian memperparah. Namun Jim masih berusaha untuk membendungnya.

Di jalan J, Jim akhirnya berhenti di sebuah minimarket untuk membeli sekaleng cola dingin. Ia langsung menenggak cola dingin itu di parkiran dengan harapan bisa mendinginkan kepalanya yang seakan sedang dipanggang di atas tungku. Setelah kaleng itu kering, Jim menghantamkannya ke lantai berubin sekuat yang ia mampu. Kaleng itu memantul seperti bola basket, sebelum menggelinding dan berhenti. Belum puas, Jim menghampiri kaleng yang terkapar itu dan menginjaknya. Kaleng itu langsung ringsek. Belum puas, ia memungut kaleng yang sudah gepeng itu dan melemparnya ke tembok sekuat-kuatnya.

Sayangnya, apa-apa yang dilakukannya barusan belum juga melegakan hatinya.

Jim menunggangi motornya dan bergegas pergi. Ia berpikir perlu tidur selama beberapa jam, guna menenangkan emosinya.

***

Baru menempuh perjalanan sekitar satu kilometer, Jim kembali berhenti. Kali ini di sebuah warnet.

Di parkiran warnet itu sedang sangat ribut. Penyebabnya, ada seorang maling motor yang dihajar beramai-ramai oleh massa.

Melihat itu, Jim berpikir ini kesempatannya untuk melampiaskan amarah. Ia turun dari motornya, lalu menghampiri kerumunan orang yang sedang berebut untuk menghadiahi si maling dengan pukulan dan tendangan, seperti sekawanan anjing yang berebut daging mentah.

Saat Jim begitu dekat dengan sasarannya, ia melihat kondisi si maling sudah amat mengenaskan. Wajah si maling sudah sangat merah, seolah ada orang yang baru saja menyiramnya dengan darah. Bajunya sudah koyak, sehingga si maling kini bertelanjang dada menampakkan tatto bergambar ular yang tampaknya dibikin oleh seorang amatir. Berkali-kali bibir si maling yang sudah bengkak terdengar menggumamkan sesuatu: mungkin minta pengampunan. Namun tidak ada satu pun yang peduli. Mereka terus menghajarnya.

Begitu pula Jim. Ia sama sekali tidak peduli. Mulanya, ia meluncurkan kepalan tangannya dengan deras, menghantam secara bertubi-tubi di muka, tengkuk, leher, pundak dan bagian tubuh lainnya dari si maling. Kemudian, ia menendang, menginjak-injak, seolah hendak meratakan tubuh si maling dengan tanah. Berikutnya, ia menggabungkan keduanya: memukul dan menendang. Bahkan sesekali disertai pula dengan menjambak.

Saat Jim masih terus menghajar si maling, tiba-tiba saja ia melihat wajah berlumuran darah itu berubah-ubah rupa. Ia tahu wajah siapa saja itu, yang menggantikan wajah si maling, mengelabui matanya. Itu wajah dari orang-orang yang telah membuatnya kesal dan marah. Ia seolah bisa melihat dengan jelas wajah kekasihnya, lalu wajah si pelanggan, lalu wajah bosnya, silih berganti tengah tersenyum mengejek kepadanya. Ia ingin menghapus senyum itu. Ia tak mau diremehkan. Ia senang bila melihat orang-orang itu sengsara. Pikiran itu menjadikan pukulan dan tendangannya pada si maling makin deras dan keras. Bahkan ketika para polisi datang untuk mengamankan si maling, Jim masih berusaha meraih-raih tubuh si maling dan sempat mengirim satu-dua pukulan meski si maling sudah dikawal oleh dua orang polisi.

Setelah si maling dinaikkan ke mobil polisi, lalu berangkat, Jim bisa merasakan kelegaan di dada. Seolah kotoran yang menumpuk sekian lama telah tercuci bersih. Napasnya kini telah teratur. Diikuti hilangnya keinginan untuk berteriak sekuat-kuatnya seperti seekor gorila yang murka. Senyum puasnya terbit.

Sayangnya ada satu hal yang masih mengganjal di hati. Jim tidak bisa mengingat wajah orang yang habis dihajarnya. Wajah dari pemilik darah yang kini menempel di baju dan tangannya.

Komentar

Postingan Populer