Apa Salah Teve Padamu?



Saya pikir, tidak ada perkara paling mudah selain menimpakan kesalahan kepada sesuatu yang seharusnya tidak layak menanggungnya. Terlebih bila yang kita jadikan kambing hitam tersebut adalah mereka yang hanya bisa bungkam, diam, nrimo, tidak melawan, seperti sebuah media elektronik bernama televisi (teve).

Andaikan teve bisa dipersidangkan di meja hijau, maka banyak dari kita bakal mendakwanya sebagai pelaku utama yang pantas disalah-salahkan.

Dakwaan kita padanya (teve) bisa bermacam-macam bunyinya, yang tentu saja disertai "bukti-bukti" dari para saksi, demi menguatkan tuduhan. Agar terlihat kitalah yang benar, dan dia (teve) adalah si biang masalah.

Beruntung, saya sedikit menyadari kekeliruan dalam masalah ini. Dan saya ingin sekali menjadi penasehat hukum baginya (teve). Membelanya. Membantah setiap dakwaan itu bersama kesaksian yang dipakai untuk menyerangnya. Saya ingin meluruskan: siapa di sini yang sebenarnya bersalah, karena dialah yang harusnya bertanggung jawab pada kerusakan yang diciptakannya.

Salah satu dakwaan yang ingin saya bantah adalah:

Televisi Penyebab Perilaku Tidak Pantas dari Para Remaja dan Anak-anak

Kita mungkin masih ingat, beberapa tahun lalu, tersiar berita yang mengungkapkan beberapa anak SD tewas karena meniru adegan Smackdown. Sebagian tewas karena mengalami gegar otak parah, setelah mempraktekkan aksi John Cena, dkk. bertarung tawuran di ring, yang dipenuhi dengan adegan pukul-pukulan, menendang, menindih, bahkan membanting emang petasan, pake dibanting segala?.

Beberapa menyalahkan teve sebagai muasal masalah. Tapi banyak juga yang tahu muasal dari masalah ini sebenarnya, dan saya cukup bersyukur kala itu. Sehingga, menghasilkan keputusan bahwa tontonan tersebut harus dihentikan. Mandeg. Tidak boleh lagi tayang.

Memang para korban yang tewas tidak akan pernah hidup kembali (meski dengan bantuan tujuh bola naga. Karena sang dewa naga pasti bakal bingung dengan permintaan menghidupkan kembali korban Smackdown. Itu sudah di luar skenario bliyo). Namun, setidaknya bisa mencegah jatuhnya korban selanjutnya.

Tetapi, seperti yang sudah-sudah, masalah itu hanya menjadi kerak kenangan hitam-kelam-suram yang tertindih dan tertimbun oleh urusan-urusan kita sehari-hari. Masalah itu akhirnya dilupakan. Tidak menjadi bahan pertimbangan untuk menciptakan acara teve yang lebih baik dan layak, dibanding sebelumnya.

Akhirnya, muncullah acara-acara teve yang menampilkan goyang ini dan itu, hanya karena rating dari stasiun pelopor acara tersebut melejit. Tetapi, kemudian kita "sadar" bahwa acara goyangan itu lama-kelamaan sudah kian berlebihan. Baik secara kuantitas stasiun teve yang menayangkan hal serupa, maupun kualitasnya yang makin nyeleneh dan absurd. Sehingga diberhentikanlah penayangannya.

Tetapi, ternyata kita adalah makhluk yang mengidap pikun parah. Pelupa. Amnesia. Hingga tayangan buruk itu tercipta kembali. Bergentayangan di teve lagi. Dijejalkan ke media elektronik tersebut.

Kini banyak bermunculan serial teve atau sinetron yang—menurut saya—tidak layak ditonton. Sebagai contoh, ada salah satu sinetron yang menayangkan perselisihan antar geng motor. Dengan motor-motor sport mentereng, mereka yang diceritakan masih dalam masa sekolah, saling bermusuhan. Cenderung pula terjadi tawuran antar geng, yang dalam trailer-nya, sempat memakan korban jiwa. Hingga salah satu teman si korban tewas menyarankan untuk membalas dendam. Darah dibalas darah.

Gedabrus thok iku (hanya membual)! Jangan ditiru!

Ah, saya sungguh tidak bisa membayangkan, berapa banyak remaja yang tercemar otaknya dengan perilaku yang harusnya mereka jauhi itu? Berapa banyak yang menganggap adegan kekerasan di sana sebagai perilaku anak keren, lantas menirunya? Berapa banyak yang memutuskan untuk membentuk kelompok-kelompok tertentu (geng), padahal kita dianjurkan untuk berkasih sayang pada seluruh manusia bahkan alam? Berapa banyak darah muda yang harus menggelegak, meletup-letup, hingga akhirnya tumpah di arena tawuran?

Mungkin saya agak berlebihan menanggapinya. Maafkan saya jika menyinggung. Terlebih saya tidak tahu ending-nya bakal seperti apa. Tapi, ya mbok berhenti lha menanamkan doktrin bahwa "jantan" itu pandai berkelahi; "keren" itu punya motor bagus; "cantik" itu punya kulit putih-bersih-rajin nyalon; "gaul" itu punya pacar.

Namun, saya yakin, ini sepenuhnya bukan salah kalian (para stasiun televisi). Ada pihak lain yang ikut menanggung separuh dari kesalahan itu. Bahkan bisa jadi tiga perempatnya.

Pihak lain itu adalah pasar. Sedangkan, pasar adalah kita-kita yang menontonnya.

Saya amat yakin, kalian (para stasiun teve) tidak akan menayangkan acara-acara tersebut, jika tidak ada yang menontonnya. Sebab rating kalian bakal anjlok drastis, dan kalian bakal berpikir tayangan apa yang diminati pemirsa. Jika, pemirsa ternyata menginginkan tontonan cerdas, berbobot, bermutu, layak tonton, mendidik, bermanfaat; maka kalian pun akan membuat acara seperti itu, karena itulah yang diminati. Tidak mungkin kalian bunuh diri dengan membikin acara ngehek yang tidak diminati para pemirsa yang menginginkan tayangan cerdas. Tapi kita tahu betul, kini, yang terjadi justru sebaliknya.

Kita (masyarakat) membiarkan tayangan-tayangan yang kita anggap menghibur itu—meski nyatanya banyak mengundang dampak negatif bagi remaja dan anak-anak—untuk tetap tampil di layar kaca. Kita pulalah yang menghidupi agar tayangan-tanyangan buruk itu tetap eksis, dengan ikut-ikutan menontonnya tiap hari, tanpa absen. Tayangan-tayangan itu ada karena kita memang mengharapkannya untuk ada; meminatinya sehingga diadakan terus-menerus; menontonnya agar tetap ada dan tidak anjlok ratingnya.

Bukankah banyak acara teve yang harus dihentikan penayangannya karena sepi penonton, rating turun, sehingga lebih baik dihentikan, daripada menyedot uang terlalu banyak. Kenapa kita tidak menggunakan trik ini untuk merangsang munculnya tontonan berkualitas?

Ah, ternyata kebanyakan dari kita (para penonton) lebih memilih untuk terus menikmati peran menjadi biang keladi utama bagi pengaruh buruk yang disebabkan oleh acara teve. Dan berpura-pura menjadi pihak yang dirugikan.

Selama ini kita mengira bahwa kita ini adalah korban. Tempat bermuara segala pengaruh buruk itu menimpa. Seolah-olah kita-lah kaum tertindas, sedangkan teve dan stasiun teve yang seakan posisinya berada di atas kita adalah penindas.

Padahal, kita adalah penindas yang sebenarnya. Muasal dari segala pengaruh buruk itu. Kita-lah yang menindas stasiun teve untuk terus-menerus menghasilkan tayangan-tayangan membodohkan itu. Kita-lah yang bertanggungjawab atas rusaknya moral generasi muda. Kita-lah pelaku utamanya.

Sebab, kendali atas tontonan di teve, sebenarnya ada di pikiran kita sendiri. Ada di tangan kita sendiri. Ada di ujung remote yang kita fungsikan. Mustahil teve bisa menyala dengan sendirinya, jika tidak ada orang yang menghidupkannya.

Maka... mulai sekarang, berhentilah menyalahkan teve, karena kita-lah yang seharusnya di penjara dan menerima hukuman atas kesalahan yang tidak kita akui itu.

NB: Tulisan ini pernah tayang di sini

Komentar

Postingan Populer