Review Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

"Hanya pria yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati."

Cerita film ini berangkat dari kalimat di atas. Ajo Kawir, anak kampung Bojongsoang, tak bisa ngaceng gegara trauma pada suatu malam jahanam. Pada malam itu dia dipaksa ngentot oleh dua polisi yang memergokinya karena mengintip aksi mereka saat sedang memerkosa Rona Merah.

Sejak malam itu 'burung' miliknya tertidur pulas. Beragam usaha sudah ditempuhnya untuk membangunkan 'burung'nya itu dan berujung kegagalan. Kegagalan ini nyata betul diwakilkan lewat interaksi Ajo dengan seorang pelacur: "Tidak ada yang paling menghinakan seorang pelacur selain burung yang tak bisa berdiri."

Didorong keputusasaannya itu, Ajo menjelma jadi pria yang doyan berkelahi, seolah-olah itulah cara lain baginya untuk menunjukkan kejantanannya. Siapa pun yang berani mempertanyakan kejantanannya, dia ajak adu jotos. Siapa pun orangnya yang patut menerima hukuman, bakal dihantamnya. Kelakuannya inilah yang membawa dia pada pertemuannya dengan Iteung, gadis yang kelak bakal jadi istrinya.

Pertemuan dengan Iteung memberi warna di hidup Ajo. Dia mendadak tobat. Namun lagi-lagi masalah pada 'burung'nya menyusahkannya dan membawa cukup kerusakan.

Maskulinitas Beracun

Melalui 'burung' Ajo Kawir yang tak sanggup bangun, film ini jelas hendak menyinggung anggapan soal kejantanan yang kadung beredar di masyarakat kita. Di mana seorang pria dinilai jantan ketika dia bisa menggunakan 'burung'nya dengan baik.

Isu tersebut menciptakan semacam kompetisi. Misalnya, mereka akan bangga ketika 'burung' mereka bisa besar dan panjang, sehingga kerap menempuh beragam cara guna menyempurnakan 'perkakas' mereka itu. Belum lagi soal ketahanan di atas ranjang, sehingga obat-obatan penjaga penis agar lama ngaceng laku terjual.

Di film ini kita dapat melihat betapa Ajo terobsesi pada kejantanan dan betapa itu selalu mampu membuatnya putus asa. Dia seolah merasa kurang laki gegara 'burung'nya tak bisa ngaceng; dan dia pun melampiaskannya lewat perkelahiannya yang tak kunjung usai. Seakan-akan dengan menjadi pria yang jago berkelahi, kejantanannya sebagai lelaki tak bakal diragukan.

Lewat Mono Ompong juga--yang sayangnya di film ini tak digali lebih mendalam--isu lainnya muncul. Selepas berkelahi dan mendapat uang hasil taruhan, Mono berujar bakal melatih 'burung'nya agar tak cepat ejakulasi.

Selain isu soal kejantanan, film ini juga mengangkat isu pelecehan seksual pada perempuan juga feminisme. Lewat Iteung, film ini ingin mengatakan bahwa perempuan juga bisa setara dengan lelaki, tak selamanya pasif.

Masih ada isu-isu lainnya. Misalnya, isu penyalahgunaan kekuasaan seperti yang dilakukan dua polisi dan Paman Gembul. Juga soal penembak misterius yang lagi gencar-gencarnya di era itu.

Adaptasi Novel

Film ini merupakan adaptasi novel karya Eka Kurniawan dengan judul yang sama. Bahkan di sini Eka ikut andil dalam penulisan skenarionya. Ini bukan kali pertama Edwin, selaku sutradara, membuat film dari adaptasi novel. Sebelumnya ada "Aruna dan Lidahnya" yang juga diadaptasi dari novel.

Namun dibandingkan dengan film "Aruna dan Lidahnya", bahkan film-filmnya sebelumnya, film ini serasa bukan film Edwin. Bagi yang gemar menikmati karya dari Edwin, tentunya bakal menyadari ada ciri khasnya yang hilang di sini.

Edwin di sini, seperti hanya sedang menyalin adegan-adegan yang ada di novel, lalu menaruhnya begitu saja di filmnya tanpa mengutak-atiknya lagi. Tidak ada terobosan layaknya yang terjadi di film "Aruna dan Lidahnya", dengan pendobrakan dinding keempat, misalnya. Bahkan dari segi cerita pun, tak ada yang diperbarui, tak ada yang segar. Semua nyaris sama dengan novelnya. Saya mencurigai andilnya Eka di sini membuat Edwin tak leluasa mengutak-atik cerita berdasarkan interpretasinya.

Hal ini diperburuk dengan perpindahan adegan yang kelewat cepat sehingga banyak 'perasaan' di film ini tak sampai ke penonton, hanya sekadar di permukaan belaka. Maka tak heran, saya tak dapat bersimpati dengan keputusasaan Ajo Kawir atas burungnya; tidak pula pada trauma Iteung yang pernah jadi korban pelecehan seksual; bahkan ketika Iteung ketahuan hamil dengan Budi Baik pun, saya tak bisa merasakan perasaan terkhianati dari Ajo Kawir. Semua serbananggung.

Yang amat saya sesalkan juga adalah pasifnya karakter Si Tokek, sahabat Ajo Kawir. Sebagaimana Iteung, Si Tokek juga punya andil bagi hidup Ajo. Pada malam jahanam, Si Tokek-lah yang mengajak Ajo mengintip Rona Merah mandi dan diperkosa. Di novelnya, Si Tokek digambarkan telah bersumpah tak mau bercinta dengan perempuan sebelum 'burung' Ajo bisa sembuh, sebagai permintaan maafnya pada Ajo. Si Tokek pulalah yang menemani Ajo saat berkelahi. Sayangnya di sini Si Tokek hanya sebagai kawan curhat Ajo belaka, dan lagi-lagi tak kelihatan mereka bersahabat erat di sini. Edwin hanya seperti bilang ke penonton, "Ini loh Si Tokek, kawan karib Ajo."

Sebelum film ini tayang, jauh-jauh hari saya membayangkan, film ini bakal dibentuk layaknya film Nobody karya Derek Kolstad. Saya membayangkan Ajo yang juga menghadapi maskulinitas beracun layaknya Hutch Mansell, meski dengan cara yang berbeda, menampilkan perkelahian yang juga seru. Sialnya, hanya perkelahian Iteung dan Ajo saja yang bisa dianggap sebagai perkelahian, sisanya sama membosankan dan tak bermaknanya layaknya balapan truk yang dilakukan Mono Ompong.

Mungkin lantaran banyaknya isu yang ingin dijejalkan dalam film ini, juga dengan banyaknya karakter di dalamnya, membuat Edwin kesulitan menemukan fokus utama film ini.

Meski bukan film terbaik dari Edwin, film ini masih layak tonton. Suasana era 80-an, betulan terasa dan makin diperkuat dengan dialog baku seperti yang bisa kita jumpai di film-film lawas Indonesia. Humor-humor gelapnya juga beberapa kena sasaran. Selamat menonton.

Komentar

Postingan Populer