Tiga Keponakanku (Cerpen Kampus Fiksi)

Suatu hari kakak perempuanku mengetuk pintu rumahku. Ikut bersamanya tiga anaknya yang masih kecil. Semuanya laki-laki. Si sulung berumur sepuluh tahun, yang kedua delapan tahun, yang terkecil tujuh tahun.

Mulanya, kupikir mereka hanya akan mampir sebentar lalu pulang. Namun ternyata kakak perempuanku itu mampir untuk menitipkan ketiga anaknya. Ia mengaku kalau ia sedang sibuk mondar-mandir ke kantor polisi, setelah dua hari ini suaminya menghilang. Dengan kesibukaannya yang baru ini, ia kerepotan mengurus ketiga anaknya itu.

Aku mengiyakannya.

Sebelum pergi ia berpesan supaya tidak mengijinkan ketiga anaknya itu keluyuran di luar seperti yang selalu diterapkannya di rumah. Terlebih akhir-akhir ini ketika berita penculikan anak untuk diambil organnya lagi moncer.

Sekali lagi aku mengiyakannya.

Lalu ia berbalik, memunggungi pintu rumahku, beranjak menuju taksi yang sedari tadi menunggunya.

Taksi lalu meluncur pergi.

Aku menatap ketiga keponakanku, mengamati wajah mereka. Tampak sehat dan tergolong dalam bocah yang mendapat asupan nutrisi yang mencukupi.

Saat aku sedang memerhatikan mereka, salah satu bocah berkata tepatnya meminta ijin padaku.

"Apa kami boleh bermain di luar?" katanya, sambil menunjukkan halaman depan rumahku yang cukup luas namun gersang. "Kami ingin main layang-layang."

Mendadak aku merasa heran. Mereka tidak membawa selembar layangan pun. Dan aku menanyakan itu.

"Jadi kalau kami punya layangan, Paman akan mengizinkan kami bermain di luar?"

Mendadak aku merasa tolol. Ternyata pertanyaan pertama tadi cuma jebakan. Aku tak ada bedanya dengan kelinci yang berlari masuk ke mulut buaya yang lagi menganga secara sukarela. Dan ini membuatku kesal.

"Kalian dengar apa yang dikatakan ibu kalian tadi, bukan?"

"Tolonglah, kami janji tidak akan jauh dari rumah."

Aku tidak langsung menjawab. Aku tidak tahu apakah aku diam untuk menimbang antara mengijinkan atau menolak; atau hanya iseng membuat mereka berharap. Yang pasti, jawabanku kemudian membuat mereka kecewa.

###

Aku tak menduga ketiga keponakanku itu sangat berbakat membikin kegaduhan. Tiap hari ada saja keributan yang terjadi. Pernah mereka berebut sebuah mobil-mobilan hingga dua di antara mereka menangis. Padahal mereka punya tiga mobil-mobilan, masing-masing sebuah. Hanya saja entah kenapa mereka menginginkan mobil-mobilan yang sama.

Pernah juga mereka berebut telor ceplok yang kubuat untuk sarapan mereka. Sama seperti berebut mobil-mobilan. Alasan mereka, telor ceplok yang diperebutkan itu lebih besar ketimbang dua telor ceplok lainnya.

"Omong kosong," kataku kesal. "Semua sama saja."

Mereka membantah omonganku dengan dalih yang sama.

"Kalian bisa membunuhku kalau begini," kataku, seraya mendengus kesal. "Apa sih mau kalian?"

"Kami mau main di luar," kata bocah tertua. Dua bocah lainnya menyepakati.

Aku tetap tidak menyepakati dan itu membuat mereka kesal.

Sore harinya, mereka kepergok menenggelamkan kucing peliharaanku di bak mandi yang separuh terisi, hingga tewas. Aku menghardik mereka, menyebut mereka sebagai bocah-bocah setan.

Namun dengan enteng si sulung berkata padaku dengan nada mengancam.

"Jika Paman tak ingin mendapat hal buruk lagi, ijinkan kami bermain di luar."

Dengan marah, kuseret tangan si sulung hingga di ambang pintu. Kubuka daun pintu dan melemparkannya ke luar. Dua bocah lainnya menyusul.

"Pergilah. Kalau perlu pergilah ke neraka."

Lalu aku membanting daun pintu hingga menutup tepat di depan mereka. Aku kembali ke kamar mandi untuk mengangkat bangkai kucing.

###

Sudah menjelang petang dan ketiga keponakanku itu belum juga kembali. Tentu saja waktu aku menyuruh mereka pergi, aku tak serius. Bagaimanapun aku bertanggung jawab pada keselamatan mereka.

Tentunya, aku panik. Aku mencari di sekitar rumah, namun tak juga membuahkan hasil. Aku kembali setelah merasa pencarianku sia-sia.

Aku hendak menelepon kakak perempuanku untuk mengabarkan hilangnya tiga anaknya, ketika seseorang mengetuk pintu rumahku.

Aku meletakkan gagang telepon dan membuka pintu. Di ambang pintu berdiri kakak perempuanku. Aku kaget setengah mati.

"Aku punya kabar buruk," katanya, sambil sesenggukan.

"Apa itu?"

"Suamiku ditemukan tewas dalam sumur,” jelasnya. “Di dekat rumah kosong.”

Aku lebih kaget mendengar itu. Itu mengingatkanku pada kucingku yang sejam lalu baru kukuburkan.

Komentar

Postingan Populer