Midsommar: Horor di Siang Hari


Memulai debutnya kali pertama lewat Hereditary, film yang mendapat penghargaan sebagai film horor terbaik setahun lalu, Ari Aster kembali lagi meneror lewat Midsommar. Sedikit mengenai Hereditary, ia merupakan film horor yang menyasar sisi psikologis penontonnya. Meski seperti horor pada umumnya yang membangun suasana seram dan mencekam lewat gambar-gambar bernuansa gelap dan suram, Herditary menawarkan sesuatu yang lebih; ia tidak gemar menebar teror lewat jumpscare yang mengagetkan dan bikin ngos-ngosan, bahkan hantunya tidak menampakkan diri secara terang-terangan namun teror yang ditimbulkannya begitu membekas. Mereka yang telah menonton Hereditary akan memahami kalau rasa takut yang muncul bukan sesuatu yang berasal dari luar, dari apa yang ditampilkan di layar belaka. Setiap scene yang ditampilkan bukan hanya ditujukan untuk memunculkan teror, lebih dari itu, mereka mengundang ketakutan dari dalam diri kita, perlahan-lahan mengangkatnya hingga di ujung film kita akan dibikin merasa telah “melepaskannya”, seolah kita tengah mengembuskan napas yang kita tahan selama sekian menit, plong.

Jika Hereditary bernuansa gelap, Midsommar menyajikan pemandangan terang-benderang sampai-sampai kau bisa membayangkan tengah berada di surga atau apalah. Midsommar berlatar di desa bernama Harga, di pertengahan musim panas ketika siang hari lebih lama ketimbang malam hari.
Cerita diawali dengan Dani, seorang cewek yang memiliki masalah dengan adiknya yang mengidap bipolar. Karena hal itu hubungannya dengan sang pacar menjadi sedikit renggang. Dani terlihat terlalu lengket dan bergantung pada Christian, sang pacar yang tampaknya mulai jenuh menjadi tempat sampah. Puncak masalah Dani terjadi ketika adiknya bunuh diri bersama kedua orangtuanya, memenuhi rumah mereka yang telah ditutup rapat dengan asap kendaraan.

Dani begitu terpukul atas kejadian itu. Tiap kali ada yang membahas soal keluarga atau semacamnya, ia selalu menangis, kehabisan kata-kata, selalu kelabakan mencari tempat bersembunyi untuk melampiaskan dukanya habis-habisan sampai lega.

Demi melupakan sejenak traumanya itu, Dani lagi-lagi “merecoki” Christian. Ia memaksa ikut Christian dan tiga temannya yang ingin menulis tesis tentang desa Harga dan ritual midsommar yang konon diadakan tiap 90 tahun sekali. Kengototan Dani itu agaknya membuat Christian muak pada Dani dan berakibat makin memburuknya hubungan mereka.

Horor di Siang Hari

Film dibuka dengan pemandangan badai salju yang diiringi dengan lagu yang terdengar seperti sebuah mantra, cukup bikin merinding.  Lagu itu tiba-tiba lenyap, digantikan adegan Dani yang sedang menelepon sahabatnya, lalu Christian, sambil mewek. Meski lagu itu telah lenyap, lagu tersebut rasanya masih terngiang di kepala; dan uniknya, ia berdampak pada adegan-adegan selanjutnya. Terlebih lagi adegan-adegan selanjutnya terasa begitu sunyi dan gelap—kegelapan yang tak berlangsung lama. Atmosfer yang dibangun benar-benar hening dan mengganggu, seolah Ari berusaha seminim mungkin untuk memunculkan bebunyian selain dialog para tokohnya yang bahkan terdengar dingin—sedikit mengingatkan saya pada salah satu adegan di film Hereditary, yaitu ketika sang ibu bersama suami dan anaknya, melakukan pemanggilan arwah putri mereka, suasana yang memiliki keheningan serupa dan berhasil membuat suara gelas bergeser menjadi sebuah teror yang begitu mengganggu. Dengan keheningan sedemikian dalam, gema dari lantunan lagu sebelumnya makin jelas terdengar dan terngiang, seolah di kepala kita terdapat kaset yang terus menerus memutarnya. Bahkan adegan ketika Christian tengah curhat kepada teman-temanya soal hubungannya bersama Dani tidak lepas dari keheningan serupa. Keheningan itu akhirnya pecah ketika Dani menelepon Christian lalu meraung-raung. Bunyi klakson mobil yang terus menyambung kemudian muncul diikuti alunan musik yang mengiringi gambar-gambar berlatar muram yang menampilkan serangkaian (hasil) tragedi yang menimpa keluarga Dani. Alunan musik tersebut terdengar seperti sedang melolong dan menangis dalam waktu bersamaan (dolby atmos benar-benar membantu memperkuat efeknya) dan teror yang dihasilkan benar-benar menghantam dan dalam waktu yang lumayan lama seakan benar-benar mengurungmu. Lewat itu semua kau bisa merasakan kekelaman macam apa yang tengah dirasakan oleh Dani, membuat luapan kesedihan Dani di scene-scene selanjutnya terasa wajar belaka, bahkan dalam titik tertentu dinantikan.

Horor sesungguhnya baru dimulai ketika rombongan itu sampai di desa Harga. Memang, pada mulanya semua terasa normal belaka. Perkenalan mereka dengan komunitas tersebut layaknya seorang turis yang disambut baik-baik oleh warga setempat, sebuah kesan yang makin diperkuat dengan tempat yang indah dan terang dan orang-orangnya yang mengenakan pakaian serbaputih dan nampak bersahabat. Kejanggalan sebenarnya sudah disisipkan di awal perkenalan itu, meski dalam porsi yang minim, seperti saat mereka berkenalan dengan sang pastor yang dari cara bicara juga gesturnya menunjukkan sedikit keanehan, seolah memberi kesan kalau ia-lah yang bakal menjadi dalang di balik teror-teror yang terjadi berikutnya.

Teror-teror yang terjadi selanjutnya tampil semakin berani. Tensinya terasa semakin menanjak setelah ritual attestupa, ritual bunuh diri yang dilakukan oleh dua orang yang berusia senja dengan menjatuhkan diri mereka dari ketinggian tebing. Ritual tersebut dimaksudkan untuk kemuliaan, dengan tidak membiarkan jiwa terus digerogoti oleh usia yang semakin menua.

Uniknya, teror-teror yang tampil dalam Midsommar terjadi pada siang hari yang cerah seolah tanpa khawatir kedok mereka bakal terbongkar.

Simbol-simbol yang Bertebaran

Salah satu kebiasaan Ari Aster saat membikin film adalah menyisipkan simbol-simbol yang seolah menjadi gambaran tentang apa yang bakal terjadi selanjutnya. Dalam Midsommar, simbol-simbol (yang bakal menunjukkan jalan cerita) tersebut bisa dilihat sejak mula. Misalnya, lukisan di kamar Dani yang menunjukkan seorang gadis kecil tengah menyentuh kepala seekor beruang—karya John Bauer—yang sepertinya memberi pertanda pada kita kalau ending film ini bakal berkaitan dengan beruang.  Selain itu Ari Aster selalu berusaha menggiring penonton dengan “sengaja” untuk memperhatikan detail-detail yang ditebarkannya, seolah mengatakan kalau detail-detail itu nantinya akan berguna dan itu bukan janji kosong belaka, karena memang seluruh detail tersebut memang terpakai pada akhirnya.

Berikut simbol-simbol yang berhasil saya tangkap di film ini:

1. Simbol berikut ini menceritakan soal salah satu tradisi di Harga. Jika ada seorang gadis dalam komunitas tersebut menyukai seorang laki-laki, gadis itu akan meletakkan rune (batu yang dimantrai) di bawah tempat tidur si laki-laki untuk membuat laki-laki tersebut memimpikannya. Selanjutnya ia akan mencukur rambut kemaluannya dan mencampurkannya ke makanan laki-laki tersebut, juga mencampurkan darah haid ke minumannya. Semuanya bertujuan untuk membuat laki-laki tersebut naksir padanya.




Simbol-simbol di atas ini memang pada akhirnya mewakili adegan selanjutnya, yaitu: ketika Maja, adik Pele, menyukai Christian. Pertama, Maja meletakkan rune di bawah tempat tidur Christian, lalu mencampurkan rambut kemaluan ke makanannya, juga mencampurkan darah haid ke minumannya. Berikut tampilannya:


(Christian mendapati rambut kemaluan di kue yang ia makan)



(Warna minuman Christian yang tampak lebih gelap dari milik lainnya)

2. Simbol yang menggambarkan kompetisi menari untuk menentukan Ratu Mei. Dijelaskan penari yang bertahan terakhir adalah yang akan jadi pemenangnya.
  



3. Simbol yang menggambarkan seekor beruang tengah dibakar. Di ending, kita tahu apa maksud simbol ini.


4. Simbol yang menunjukkan peran masing-masing orang di komunitas tersebut ditampilkan lewat simbol-simbol yang berada di pakaian yang tengah mereka kenakan.

5. Simbol-simbol di langit-langit ruangan dan di dinding menunjukkan kegiatan komunitas tersebut.






Konsep Keluarga dalam Midsommar

Sejak awal keluarga menjadi hal vital bagi Dani. Meski tinggal jauh dari keluarga, Dani masih menyempatkan diri untuk menaruh peduli pada orangtua, utamanya sang adik yang memiliki masalah dengan kesehatan mentalnya. Dialog-dialog yang terjadi antara Dani dengan temannya atau antara Dani dengan Christian, menunjukkan betapa pentingnya sebuah keluarga bagi Dani.

Namun di awal kita sudah diberi kesan kalau keluarga tersebut (keluarga Dani yang sebenarnya) hanya memberi masalah pada Dani, sebuah konsep keluarga yang benar-benar membuat Dani frustasi dan menguras emosi. Seolah-olah kita tengah digiring untuk menyimpulkan, keluarga semacam ini bukanlah keluarga yang ideal.

Sejak kematian keluarganya—bahkan mungkin sebelumnya—karena ulah sang adik, Dani terlihat begitu kehilangan bahkan dalam beberapa momen ia tampak tengah meyakinkan dirinya kalau ia sudah tidak punya siapa-siapa lagi, ia benar-benar telah sebatang kara. Berkubang dalam perasaan buruk semacam itu, Dani seakan mencoba menarik orang-orang di sekitarnya—utamanya Christian—untuk dijadikan “keluarga barunya”. Dani mungkin menyadari kalau ia sebenarnya tidak pernah benar-benar diterima di lingkaran pertemanan sang pacar, mengingat sang pacar sebetulnya sudah muak dengannya. Hanya Pele saja—teman Christian yang punya ide mengundang mereka ke Harga—yang tampaknya begitu peduli pada Dani. Bahkan selama Dani berada di Harga, Pele seakan-akan ingin mengokohkan perannya bagi Dani, dengan terus-menerus memberi perhatian untuknya.

Semula Dani masih ngotot untuk menjadikan Christian dkk sebagai keluarganya yang baru, terlebih lagi setelah peristiwa attestupa yang mengerikan itu. Namun lama-kelamaan harapan itu kian luntur atau tepatnya berpindah. Harapan itu, disadari atau tidak, mengalir kepada komunitas tersebut, terlebih lagi ketika Dani menyadari kalau dirinya makin kesulitan untuk mendapatkan perhatian Christian, untuk sesaat ia pun seakan diingatkan kembali kalau ia benar-benar sebatang kara dan kesepian.


(Christian yang langsung merayakan ulang tahun Dani dengan sederhana setelah diingatkan oleh Pele, mengaku kalau siang hari di Harga membuatnya lupa hari)


(Ekspresi Dani ketika Christian mengabaikannya)

Semakin lama, komunitas itu menunjukkan pada Dani kalau merekalah keluarga Dani yang sebenarnya. Komunitas tersebut seolah menawarkan pada Dani konsep keluarga yang lebih baik dari yang ditawarkan oleh Christian dan lingkaran pertemanannya, sebuah konsep keluarga yang selama ini dicari-cari oleh Dani, yang selama ini didambakannya.

Tapi semua itu dimulai dari Pele. Dari semula terlihat sekali Pele mencoba untuk lengket pada Dani, seakan ia memang sengaja mengincar Dani untuk dijadikan kandidat Ratu Mei, menjadikannya bagian dari komunitas. Kesan itu makin diperkuat ketika rombongan itu tinggal di desa Harga. Sejak awal kedatangan mereka di desa tersebut, Pele-lah yang menjadi sosok pelindung bagi Dani ketika Christian sibuk dengan tesisnya dan sedang kasmaran pada Maja, adik Pele. Pele pulalah yang menegaskan juga pada Dani, secara berulang-ulang kalau ia adalah satu-satunya orang yang bisa memahami perasaan Dani dengan mengatakan kalau ia sejak kecil juga sudah kehilangan orangtua. Pele juga menambahkan kalau ia akhirnya mendapatkan keluarga sesungguhnya di komunitas tersebut, seolah tengah meyakinkan kalau Dani juga bisa mendapat hal serupa seperti yang telah didapatkannya.

Meski di awal komunitas itu menampilkan keganjilannya lewat beberapa ritual yang mereka jalani—utamanya attestupa—, di sisi lain mereka juga menunjukkan hal-hal baik terutama berkaitan dengan kerukunan. Sebagai penganut sebuah sekte, mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki sedikit pun keraguan dengan apa yang mereka yakini. Hal ini terlihat, misal, dari cara berpakaian mereka. Baik laki-laki maupun perempuan, mereka mengenakan busana mirip daster yang konon demi menghormati alam semesta yang bersifat hermaprodit. Juga, misalnya, tidak ada yang meragukan bahwa ritual-ritual yang mereka jalani adalah demi kebaikan komunitas, seaneh apa pun itu di mata masyarakat modern.

Namun, meski terkesan mereka berkeyakinan buta, harus diakui mereka selangkah lebih baik dalam hal kerukunan jika dibandingkan dengan masyarakat modern. Bisa dibilang, mereka tak sekadar kelompok melainkan juga sebuah keluarga dalam lingkup yang lebih besar dan luas, sesuatu yang kemudian menarik perhatian Dani.

Perlahan-lahan Dani mulai terkesan dengan konsep keluarga yang ditawarkan komunitas tersebut, yaitu ditunjukkan dengan bergabungnya ia dalam kompetisi menari untuk menentukan Ratu Mei. Dani tidak tahu apa yang mesti dilakukannya, tarian macam apa yang mesti diperagakannya, tetapi setelah musik didendangkan dan para gadis mulai menari mengelilingi tiang, nyaris seperti otomatis Dani mengetahui tarian seperti apa yang mesti dilakukannya. Hal ini dikarenakan jenis tarian yang diperagakan adalah jenis tarian yang lebih mengutamakan kekompakan, kerja sama yang baik  antarpenari, sehingga Dani tinggal mengikuti arus belaka. Puncaknya, ketika tinggal bersisa tiga orang penari—termasuk Dani—dan ketiga-tiganya dalam keadaan lelah dan teler tetapi mereka masih terus menari, Dani dan seorang temannya dari komunitas itu saling merancau seolah tengah mengobrol dengan bahasa yang hanya mereka berdua pahami. Kompetisi itu dimenangkan Dani dan ia pun dinobatkan sebagai Ratu Mei. Orang-orang di komunitas itu mengerumuninya, mengucapkan selamat, tersenyum haru, menyampaikan kebanggaan mereka pada Dani—sesuatu yang barangkali tidak pernah Dani dapatkan dari keluarganya yang asli juga dari Christian. Sehingga untuk pertama kalinya sejak tragedi yang menimpanya, Dani tidak bersedih dan tidak kelabakan mencari tempat sembunyi untuk melampiaskan tangis ketika mendengar kata keluarga disebut oleh orang-orang di komunitas tersebut. Barangkali saat itu, akhirnya Dani merasa dicintai dan disayangi dan dibutuhkan, merasakan hangatnya sebuah keluarga.


(Ekspresi kegembiraan orang-orang Harga saat Dani berhasil menang sebagai Ratu Mei)


(Ketika Dani diminta untuk mencicipi ikan asin sebagai jimat keberuntungan, orang-orang tertawa ketika ia melepehnya, dan orang-orang menunggu ia makan lebih dahulu sebagai penghormatan)
Namun tidak hanya saat Dani berbahagia saja mereka berlaku hangat, melainkan juga saat Dani bersedih setelah ia memergoki Christian tengah bercinta (sambil dikerumuni para tetua desa) dengan Maja. Dani langsung berlari sambil menangis, menuju rumah tempat ia dan yang lainnya tidur, lalu meratap di atas kasur. Para gadis yang sebelumnya mengerumuni Dani langsung mengejarnya, dan memberi penghiburan. Penghiburan yang mereka lakukan adalah sesuatu yang tak terduga dan rasanya jarang kita jumpai dalam masyarakat modern. Mereka—para gadis itu—ikut menangis sejadi-jadinya, mengikuti raungan Dani, sehingga mereka jadi layaknya tim paduan suara yang tengah dikomando oleh Dani. Tidak mengherankan Dani akhirnya merasa menjadi bagian dari komunitas tersebut, menjadi keluarga. Cara mereka menangis bersama Dani menunjukkan kepada Dani kalau mereka juga tak kalah sedih dibandingkan ia, membuat Dani seketika merasa dimengerti, amat-sangat dipahami.

 

(Christian dan Maja tengah bercinta)



(Dani menangis bersama-sama)

Sebetulnya ada satu lagi yang unik sebelum Dani memergoki peristiwa itu: Seorang gadis sudah memperingatkan Dani agar tidak menuju tempat Christian dan Maja sedang bercinta, tetapi Dani tetap bersikeras. Uniknya, gadis tersebut tidak menghalangi Dani dan justru membiarkannya saja. Bisa dibilang, ini adalah suatu hal yang bijak untuk mempertahankan kepercayaan Dani pada mereka, dengan tidak menutup-nutupi apa yang ingin Dani ketahui seburuk apa pun dampaknya pada Dani nantinya.

***

Film ini ditutup dengan kebahagiaan di pihak Dani. Ya, rombongan orang luar yang datang ke desa tersebut, semuanya mati kecuali Dani yang dinobatkan jadi Ratu Mei—khusus untuk Christian, ia mati atas keputusan Dani, ia mati dibakar dalam kostum beruang yang sudah dikuliti. Bisa dibilang, rombongan itu memang sengaja diundang dalam komunitas tersebut untuk “dipakai” oleh mereka, dan Pele dan abangnya menjadi orang di komunitas tersebut yang memegang peranan penting untuk mencari orang luar. Misalnya, Christian yang dipakai sebagai pejantan untuk membuahi Maja; lalu, Dani yang akhirnya menjadi Ratu Mei—jangan-jangan kematian keluarga Dani ada campur tangan Pele?; juga, kawan-kawan Christian dan dua orang yang diajak oleh abangnya Pele dibunuh untuk djadikan korban dan persembahan untuk ritual puncak. Alur cerita semacam ini mengingatkan saya pada film “Get Out” besutan Jordan Pele—Pele? Apakah ini ada hubungannya juga?




Jika dibandingkan dengan Hereditary, Midsommar masih kalah mengganggu, horor yang dimunculkan juga tak sekuat horor di Hereditary, bahkan efek samping yang ditinggalkan tidak setebal efek samping setelah kita menonton Hereditary. Namun jika dilihat secara keseluruhan, film ini memang tidak terlalu berpusat pada horor. Teror yang muncul bisa dibilang biasa saja, dan cara orang-orang itu dibunuh juga tak banyak diekspos, tiba-tiba saja kita tahu kalau si ini dan si itu sudah mati. Lalu apa yang mendapat perhatian lebih di film ini? Di ujung film kita menyaksikan Dani menangis. Meski menangis di wajah Dani terlihat ada kelegaan, seolah-olah ada beban yang akhirnya terangkat, seakan ia juga ikut bersorak bersama orang-orang desa tersebut. Mereka bersorak atas rampungnya ritual puncak, dengan dibakarnya kuil berbentuk segitiga yang berisi 9 orang yang dikorbankan. Bagi Dani, dengan terbakarnya kuil tersebut, itu mungkin berarti ia telah merelakan masa lalunya yang pahit, membakarnya, melenyapkan. Lalu apa itu masih kurang menjelaskan huh?

Komentar

Postingan Populer