Sudut itu akan selalu kosong tetapi bayanganmu masih tertinggal di situ dan terus menghantuiku. Asal kamu tahu, pola tidurku akhir-akhir ini sedikit aneh: Meski mengantuk berat, pikiranku memaksa mataku untuk terus terjaga. Dan jikapun aku berhasil memejamkan mata, setiap dua jam sekali aku akan terbangun kembali, dengan keresahan yang menyebalkan. Begitu seterusnya.

Aku ingin kamu kembali, tentu saja. Berada di sampingku lagi sehingga kita bisa bertukar cerita lagi, tertawa bersama lagi, berbagi kesedihan dan penyesalan lagi, saling mendukung satu sama lain. Tapi agaknya itu sulit terwujud. Aku saja tidak bisa menahan kepergianmu lebih lama lagi, betapa pun kerasnya aku mencoba; apalagi mesti membawamu kembali—sepertinya bisa kubilang nyaris mustahil.

Kamu pernah berkata kepadaku, “Jangan meminta kepada Tuhan agar seseorang dekat denganmu. Bisa-bisa Tuhan malah akan menjauhkan ketimbang mendekatkannya padamu.” Aku menyetujui itu. Tidak membantahnya. Karena aku sejak dulu memang tidak meminta hal semacam itu kepada Tuhan. Bahkan saat kita masih bersama, aku tidak pernah memintanya. Yang kuinginkan—dan mungkin kamu juga—adalah membiarkan semuanya mengalir apa adanya dan kita tinggal mengikuti arusnya belaka. Tapi biar bagaimanapun, kehilangan tetaplah sebuah kehilangan. Perpisahan tetaplah sebuah tonjokan memilukan di dada yang membuat sesak. Dan aku tahu, saat itu, sekarang, aku tidak pernah siap dan tidak akan pernah siap kehilanganmu. Nyatanya yang bisa kulakukan hanyalah menghadapi kehilanganmu, berpisah darimu, dan mulai membiasakan diri dengan itu semua sambil perlahan-lahan mencoba meredakan segala kecamuk yang memenuhi benakku. Bagaimanapun, bagiku, kamu bukanlah sosok yang numpang lewat yang bakal lekas kulupakan. Lebih dari itu, kamu berarti bagiku. Sangat.

Komentar

Postingan Populer