21 April

Pagi kemarin, 21 April, pukul lima, aku bangun dari tidurku yang cukup lelap, lalu pergi salat subuh dengan separuh kesadaran masih tertinggal di alam mimpi. Sehabis salat, aku mengambil ponsel-pintarku dari ransel, menyalakan layarnya dengan mengetukkan jempol sebanyak dua kali, lalu mengaktifkan paket internetnya. Sebuah pesan masuk. Aku berharap itu darimu, tetapi ternyata bukan. Pesan itu dikirim oleh seorang temanku di grup WA, dan seperti yang bisa kuduga, ia mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Aku mengabaikan pesan itu, tidak membalasnya—atau tepatnya menunda untuk membalasnya—karena kuyakin di grup tersebut, pesan-pesan bernada sama akan segera bermunculan; dan aku memutuskan untuk membalasnya sekalian nanti.

Aku sarapan pagi-pagi betul dengan mie instan berbumbu pedas dan itu cukup mengenyangkanku, setidaknya perutku bakal tahan lapar hingga nanti sore—atau mungkin malam. Pukul delapan tepat, televisi menayangkan kartun Doraemon dan keponakanku menontonnya dengan tekun seperti seorang navigator yang tengah menekuri peta. Aku biasa menemaninya menonton sampai usai, namun tidak pada pagi itu. Setelah mandi, aku justru pergi ke perpustakaan untuk melanjutkan tulisanku yang tak kunjung selesai. Aku pikir, dengan menulis di sekeliling deretan buku, otakku jadi encer dan kalimat-kalimat bakal bermunculan. Tetapi ternyata tidak. Hawa sejuk yang ditiupkan pendingin ruangan membuatku nyaman dan mengantuk—ah, tidurku memang kelewat sedikit, semalam.

Aku memejamkan mata, tidak sepenuhnya tidur, hanya tidur-tidur ayam, lalu terbangun ketika ponsel-pintarku kembali berbunyi. Seperti yang kuduga, teman-temanku di grup mengirimkan ucapan selamat ulang tahun kepadaku. Aku memutuskan membalas pesan-pesan itu, mengucapkan terima kasih sekadarnya. Iseng aku skrinsut pesan-pesan itu, menayangkannya sebagai status di WA, dengan mengimbuhinya beberapa patah kata yang menjelaskan kematian semakin mendekat. Begitulah, aku memang tidak bisa merayakan ulang tahun tanpa menyisipkan sebuah ironi. Bagaimana tidak, kita semakin tua dan tubuh lama-kelamaan bakal semakin rentan karena memang selemah itulah tubuh manusia dan kita mesti terima itu mau tidak mau.

Tak lama kemudian, teman-temanku lainnya mengirim pesan untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Aku menanggapi dengan sebaik mungkin, setidaknya begitu menurutku. Sejak lama, aku kehilangan antusiasme dalam perayaan ulang tahunku—bahkan perayaan sejenis itu. Bisa dibilang, perlahan-lahan aku mulai kehilangan sisi romantis dalam diriku. Namun, biar bagaimanapun, ucapan-ucapan dan doa-doa yang mereka kirimkan tetap memberi makna padaku di hari itu. Siapa yang tidak gembira ketika tahu ada segelintir orang yang meluangkan sedikit waktu mereka hanya untuk memberi sedikit perhatian kepada seseorang yang barangkali hanya membawa 0,001% pengaruh bagi hidup mereka? Aku pun gembira dan senang dan tiba-tiba saja aku mengingatmu—orang yang paling dekat denganku saat ini—dan berharap kamu bergabung dalam barisan segelintir orang itu.

Tetapi sampai sore tiba, pesanmu tidak kunjung datang, dan aku mulai bertanya-tanya, apa kamu lupa? Namun hanya sebatas itu saja. Bahkan aku tidak kesal atau kecewa padamu, karena memang sejak awal aku tidak terlalu peduli dengan ada-tiadanya orang yang akan mengingat ulang tahunku.

Tetapi harus kuakui, aku salah menilaimu. Petang itu kamu menunjukkan bahwa kamu berbeda dengan segelintir orang yang kusebutkan di awal. Kamu melampaui ekspektasiku. Kamu melakukan lebih dari yang orang lain lakukan untukku pada hari itu. Bisa dibilang, perhatian yang kamu berikan berada jauh di atas ketimbang perhatian segelintir orang itu.

Sebuah kue ulang tahun berkrim tebal dengan sepucuk lilin yang menyala di atasnya, kamu sodorkan di hadapanku. Aku langsung sumringah. Selama sekian detik, kata-kata lenyap dari bibirku, seolah telah tertelan masuk ke kerongkongan dan mendekam di dalam lambung. Dan untuk sesaat aku merasa berada di dunia yang berbeda, dunia yang amat-sangat menyenangkan hingga aku betah berlama-lama singgah di dalamnya. Lalu kamu menarikku kembali ke kenyataan, dengan berkata:

“Selamat ulang tahun. Maaf, ya, hanya bisa ngasih kue yang kecil.”

Ini pun sudah cukup bagiku, balasku. Ini berarti besar buatku. Bagiku ini spesial.

Di kepalaku, aku merekonstruksi ulang apa-apa saja yang sudah kamu lakukan hingga kue ulang tahun lengkap dengan sepucuk lilin yang menyala di atasnya itu berada di hadapanku. Aku membayangkan kamu pergi ke toko kue, memilih salah satu kue di etalase dan membayarnya. Kemudian kamu menaruh kue itu di suatu tempat—mungkin di jok motormu—yang sebisa mungkin membuat bentuk kue tersebut tetap bagus. Kemudian, kamu membeli sekotak lilin di minimarket, meski kamu hanya butuh sebatang saja. Tak lupa, kamu membeli korek gas untuk menyalakan lilin itu. Urutannya bisa berbeda-beda, namun kuyakin itu semua yang telah kamu lakukan demi membawa kue tersebut di hadapanku.

Aku memberi suapan pertama untukmu, kemudian aku menghabiskan kue itu dengan perasaan gembira. Setelah kue itu ludes, aku baru menyadari salah satu ketololanku: Hmmmm, aku lupa mengabadikannya dalam gambar. Meski tidak ada bukti kongkrit kue itu pernah ada dan membawa makna padaku, mustahil bagiku untuk melupakannya—kecuali aku kehilangan kepalaku. Aku akan mengingat momen itu, kue itu, dan apa-apa saja yang telah kamu lakukan; menaruh semuanya dalam kanvas yang besar dan membingkainya, kemudian memajangnya di dinding ingatan sehingga kapan pun aku butuh, dengan mudah aku bakal menemukannya. Sungguh, aku ingin mengingatnya seumur hidupku.
Terima kasih untukmu. Terima kasih semuanya.

Komentar

Postingan Populer