Masih terlalu pagi untuk pulang, begitu pikirku. Aku tahu seharusnya tidak berpikir begitu. Mestinya aku segera pulang. Ada banyak hal yang harus aku kerjakan di rumah, namun tiba-tiba saja aku jadi tidak peduli pada semuanya. Lalu aku mendapati diriku terdampar di salah satu warung kopi.

Aku memesan kopi hitam ke penjaga warung, bertanya: kapan gorengannya akan datang? Ia bilang, sekitar pukul delapan. Aku melihat jam di ponsel, masih pukul enam kurang. Aku membatin, aku tidak punya waktu sebanyak itu untuk menunggu, apalagi untuk jajanan berminyak yang rawan kolestrol.

Minum kopi di pagi hari tanpa menelan makanan apa pun sebelumnya bukanlah ide bagus. Bagiku itu sebuah perjudian. Maksudku, otakku bisa lebih aktif, namun perutku akan sedikit nyeri. Tapi biarlah, toh itu hanya sedikit rasa nyeri.

Aku mengeluarkan laptop dari ransel, menaruhnya di atas meja. Jari-jariku memijit tuts-tuts laptop, kata-kata bermunculan, menyenangkan, meski setelah kubaca ulang kisah yang aku rampungkan sejam kemudian, kisah itu masih belum melegakanku. Biarlah, pikirku. Aku maju sedikit-sedikit. Itu lebih baik, bukan?

Di sela-sela menulis, perempuan yang sedang kudekati beberapa bulan terakhir ini membalas pesan yang kukirim subuh tadi. Aku tepikan sebentar laptopku, dan kami mulai saling berbalas pesan.

Obrolan kami biasa saja. Maksudku, kami tidak membicarakan hal-hal berat seperti soal: proses terbentuknya alam semesta, tubrukan besar, atau pada akhirnya dengan segala keruwetannya ke mana manusia bakal menuju. Aku memandang matahari yang mengendap-ngendap naik di balik awan mendung—pagi ini gerimis. Lalu tiba-tiba aku merindukannya, dan sangat ingin mengatakannya. Aku tiba-tiba teringat salah satu adegan di film Green Book yang kutonton beberapa waktu lalu, di bagian saat Shirley mengajari Tony menulis surat yang baik  dan benar untuk istrinya. “Kau harus fokus pada yang apa yang ingin kau katakan,” begitu kata Shirley. Gara-gara itu aku jadi ingin mengatakan perasaanku itu dengan cara yang sama. Tapi aku pikir, itu terlalu agresif. Belum saatnya. Kami memang dekat, namun kami belum sampai di tahap di mana kami bisa saling memercayakan hati masing-masing. Akhirnya, aku hanya bilang: “Sambil menikmati hangat sinar matahari, aku mengingatmu.” Ia menanggapinya dengan cukup baik, bisa dibilang lumayan.

Tak lama kemudian, penjaga warung menyetel lagu-lagu cengeng. Lagu-lagu soal kehilangan kekasih tercinta, cinta tak berbalas, dan pengkhianatan. Sudah lama aku tidak mendengar lagu-lagu semacam itu; dan saat kembali mendengarnya aku sama sekali tidak bisa menikmatinya, bahkan nyaris membencinya.

Mungkin ini semua berkat perubahan dalam kepalaku. Sudah lama aku menerima kenyataan hidup, terutama kepahitannya. Maksudku, semuanya tidak melulu berjalan baik meski kau sudah mengusahakannya sebaik mungkin. Kita hidup di dunia di mana kebaikan yang kita lakukan tidak mesti akan mendapat balasan setimpal. Pelaku kejahatan tidak mesti akan mendapat karma sepadan. Orang yang kau cintai hari ini, bisa saja tiba-tiba bosan denganmu suatu hari nanti, lalu memutuskan untuk memercayakan hatinya kepada orang lain. Orang yang kau cintai, bisa saja suatu hari nanti berkata padamu, “Maaf, sepertinya kita harus berhenti sampai di sini.” bahkan meskipun hubungan kalian sudah diakui oleh negara.

Jadi itulah yang ada dalam kepalaku saat ini. Aku yang sekarang, tidak akan peduli jika orang yang aku cintai berselingkuh dan memutuskan pergi. Aku tidak akan mencegah orang yang ingin pergi dariku, dan memaksanya tinggal. Jika ingin menetap selamanya, menetaplah. Jika tidak sanggup, tidak masalah juga bagiku, pergilah. Bukan berarti aku tidak bisa mencintai sepenuhnya. Justru sebaliknya, ketika aku mencintai seseorang aku akan mencintainya dengan sepenuhnya dan akan mempertahankannya mati-matian agar kami selalu bersama. Hanya saja, sekarang aku tidak mau ambil pusing jika ia pergi meninggalkanku. Jika ia pergi dariku, aku hanya perlu menguras habis segala tentangnya dari hatiku. Bisa dibilang aku bisa sangat peduli, sekaligus bisa sangat tidak peduli.

Bagaimanapun, di dunia yang kita tinggali hari ini, kesetiaan saja tidaklah cukup untuk mempertahankan sebuah hubungan. Tidak juga janji sehidup semati. Butuh tanggung jawab untuk itu. Dan itu harus datang dari kedua belah pihak. Hmmm ... manis, bukan?

Akhirnya, aku menyumpal telingaku dengan headset, menyetel lagu di playlist dengan keras.

Waktunya berhenti menjadi melankolis.

Komentar

Postingan Populer