SEKANTUNG KACANG

Di antara sekian banyak kegiatan, tak pernah sekalipun aku merasa bosan saat mengunyah kacang.Dan malam itu, Olivia memberiku sekantung kacang kulit panggang khas daerahnya yang langsung aku terima dengan suka cita. Aku sudah ingin membukanya saat itu juga dan mengunyahnya, namun begitu teringat kalau dini hari nanti ada pertandingan sepak bola yang seru dan aku pikir kacang itu akan jadi camilan yang tepat, aku membendung keinginan itu, dan memutuskan untuk mengasingkan sekantung kacang itu ke tepi meja tempat aku dan Olivia mengobrol.

Olivia adalah mantan pacarku.Kami mulai berpacaran saat SMA dan memutuskan untuk berpisah dengan damai—yang aku maksud di sini tanpa adanya pertengkaran besar seperti orang sinting—sebulan setelah aku lulus kuliah dan luntang-lantung tanpa pekerjaan.Alasan kami berpisah sangat klise.Sama seperti kebanyakan pasangan lainnya, kami merasa sudah tak ada lagi kecocokan.Itu saja.Tapi kalau boleh jujur, mungkin bukan itu saja sebenarnya, ada remah-remah lainnya yang ikut berperan, dan sayangnya, aku tidak peduli dengan hal-hal kecil semacam itu.Sebab kupikir ketika pasanganmu berkata kalau kalian berdua sudah tidak ada kecocokan lagi dan sebaiknya berpisah, saat itulah kalian mesti putus tanpa bisa ditawar.Putus.Titik. Lagipula, kalaupun aku menanyakannya, meminta penjelasan lebih mendetail, kemungkinan besar ia tak akan mau menjawabnya; atau kalaupun ia mau menjawabnya, ia hanya akan memberi penjelasan yang cenderung berputar-putar lewat kalimat-kalimat yang memusingkan yang sebenarnya hanya mengarah pada suatu pokok: bahwa ia tak lagi mencintaiku.

Sudah dua tahun kami tidak duduk semeja seperti ini.Cukup lama, memang. Padahal kami tinggal di kota yang sama dan rumahnya pun tak jauh-jauh amat dari rumahku. Hanya saja sejak kami putus, aku merasa perlu menjauhi ia, meski sesekali aku juga merindukannya dan ingin bertemu dan mengobrol soal apalah dengannya. Olivia pun sama, sejak kami putus ia tak pernah menghubungiku, kirim pesan atau salam pun tidak. Kami seperti bermusuhan, padahal tidak. Terlebih aku tidak bisa marah—atau tepatnya susah marah—kepada cewek secantik Olivia. Dan baru malam inilah kami bisa duduk semeja dan bertatap muka dan mengobrol.

Malam istimewa ini bermula ketika kemarin sore, tiba-tiba saja Olivia mengirim pesan ke nomor ponselku yang baru—yang lama sudah kubuang sebulan setelah kami putus.Ia mengawali dengan bertanya kabar. Aku menjawab seperti biasa, meski aku cukup terkejut dan mungkin agak gugup juga.Ia bertanya, apa boleh meneleponku. Aku melarangnya, bilang kalau saat ini aku agak repot dan waktunya kurang pas; lalu aku berjanji akan meneleponnya pukul delapan malam. Sebenarnya, itu momen yang lucu.Pasalnya saat itu aku sedang tidur-tiduran di kamarku.Hanya saja, begitulah.Ya, begitulah.Aku belum siap atau apalah.Dan tepat pukul delapan malam kurang sekian menit aku meneleponnya. Aku pikir kami bakal mengobrol lama, paling tidak sejam, tapi nyatanya percakapan kami hanya berlangsung selama lima menit lewat sekian detik. Dan dari percakapan singkat itu, Olivia memutuskan ada baiknya kalau kami bertemu.Ia beralasan kalau ia tidak terlalu suka mengobrol lewat telepon. Dan akhirnya malam ini kami pun bertemu.

Lucunya, sampai sekarang aku tak berminat bertanya pada Olivia, dari mana ia dapat nomor baruku; dan ia tampaknya juga tak berminat menjelaskannya.

Lama tidak bertemu tapi Olivia masih secantik dulu. Satu yang kurang hanyalah badannya yang lebih kurus.Seingatku dulu Olivia punya tubuh yang berisi. Maksudku bukan gendut seperti tong minyak atau apalah. Melainkan berisi dalam artian ia punya tubuh yang bagus dan anggun. Berisi yang menegaskan lekuk tubuhnya yang sangat menggoda. Bahkan dadanya sekarang agak menyusut, seingatku ia punya ukuran dada yang lumayan dulu. Dan dengan menyesal aku harus bilang, sekarang ia memang masih cantik namun tak lagi seksi. 

Setelah menyingkirkan sekantung kacang itu ke pinggir, aku bertanya padanya. "Mau pesan apa?" kataku.
Olivia menegok ke minumanku dan bertanya,apa itu? Aku bilang, itu teh susu. Lagi ngetrend.Rasanya menakjubkan.

"Aku pesan itu juga," katanya."Dan kentang goreng."

"Oke."

Aku lalu beranjak ke meja counter untuk memesan. Kafe ini tidak mengirimkan pelayan ke meja-meja pelanggan untuk mencatat pesanan dan itu sedikit merepotkan meski mereka masih berbaik hati mengantarkan pesanan ke meja. Namun alih-alih kembali ke meja, aku justru berdiri di depan meja counter. Maksudku agar aku bisa membawa pesanan Olivia ke meja dengan tanganku sendiri.Sekali-kali aku ingin tak merepotkan orang.

Sambil menunggu, aku mengeluarkan ponselku dari saku samping celana, mengetuk layarnya sebanyak dua kali dengan jempol untuk menyalakannya, memastikan ada tidaknya pesan baru yang masuk.Tidak ada.Ponselku sesepi kuburan dan sebetulnya aku sudah menduganya. Aku padamkan layar ponselku, memasukkannya lagi ke saku samping celana, namun sebelum benar-benar terkubur ke dasar kantong, aku mengeluarkan ponsel itu lagi, menyalakan layarnya kembali guna melihat sudah pukul berapa sekarang dan menyadari itu tindakan yang agak konyol mengingat di atas dinding di belakang meja counter menggantung sebuah jam bundar besar dan sejujurnya aku agak bingung juga kenapa aku mesti mengecek jam. Lagipula aku punya waktu melimpah dan sedang tak terikat janji apa pun. Aku pun memasukkan ponselku ke saku samping celana dan berjanji untuk tidak mengintipnya dalam waktu dekat ini.

Seorang pelayan menaruh nampan di depanku lalu meletakkan segelas teh susu dan sepiring kentang goreng lengkap dengan sambal di atasnya. Aku membawa keduanya ke meja tanpa memakai nampan.

Aku meletakkan teh susu di depan Olivia yang tengah mengecek ponselnya. Tidak sepertiku, ponsel Olivia sangat ramai.Sempat aku mengintip sebentar dan mendapati setidaknya ada 32 orang yang melakukan chat dengannya. Aku duduk dan meletakkan sepiring kentang goreng di tengah meja, sekalipun yang memesan Olivia dan mungkin ia juga yang akan membayarnya. Aku melakukannya karena aku yakin Olivia akan mau berbagi camilan itu denganku—kentang goreng itu untuk kami berdua, harus begitu.

Olivia masih berkutat dengan ponselnya dan itu berarti aku harus memulai obrolan lebih dulu untuk menyadarkannya kalau aku sudah duduk di hadapannya.

"Sedang sibuk apa sekarang?"Ini pertanyaan terbaik yang terpikir olehku.Olivia merespon dengan meletakkan ponselnya di atas meja dengan layar masih menyala.Aku melirik sedikit, jumlah pesan yang diterimanya terus bertambah.

Olivia menjawab, ia tidak sibuk. Sehabis lulus kuliah, ia menghabiskan waktu dengan bermalas-malasan, tidak bekerja baik di luar ataupun di dalam rumah. Sesekali ia pergi nongkrong dengan teman-temannya: bergosip di kafe, menonton film di bioskop, liburan ke beberapa destinasi wisata lokal, atau sekadar berkaraoke.

Lalu tiba giliranku untuk bercerita soal kesibukanku.Saat aku bilang kalau sudah enam bulan ini aku bekerja sebagai seorang perancang sampul buku di salah satu penerbitan yang cukup besar dengan bayaran yang bisa dibilang lumayan—setidaknya untuk ukuranku saat ini—dan aku pikir cukup membuatku sibuk sampai-sampai aku jarang menonton film atau sekadar nongkrong atau bahkan melancong ke tempat-tempat yang jauh, Olivia tidak terlihat antusias.

"Itu hebat," kata Olivia. Jelas kentara ia berusaha menyisipkan semacam ketakjuban dalam suaranya, namun gagal total. Aku jadi sedikit malu.Harusnya aku berbohong saja kalau aku bekerja di perusahaan apalah, dengan jabatan tinggi dan bayaran selangit. Tapi, apa ia akan percaya?

Mungkin sudah sepuluh menitan lebih kami mengobrol soal teman-teman semasa SMA dulu—jenis obrolan yang sering kali dimulai dengan pertanyaan klise: Bagaimana kabar 'si anu' sekarang? Dan selama obrolan terus berlangsung, aku menunggu Olivia memakan kentang gorengnya, tapi ia masih belum juga menyentuh kentang goreng itu, padahal aku sudah sangat ingin mencicipinya.

Olivia akhirnya memakan kentang gorengnya ketika terdapat jeda dalam obrolan kami. Keheningan yang tercipta karena baik aku dan Olivia tidak tahu mesti mengobrolkan apa lagi.Kami kehabisan topik.Saat itulah aku benar-benar tersiksa karena merasa telah menjadi membosankan.Di bawah meja, kaki kananku mulai bergerak-gerak.Kedua telapak tanganku berkeringat dan aku mengeringkannya dengan mengusapkannya ke celana jins-ku.Keinginanku untuk mencicipi kentang goreng yang tadi begitu menggebu langsung menguap. Aku meminum teh susu karena mulutku terasa lengket.

Tak betah dengan kecanggungan semacam itu, akhirnya aku mengajukan pertanyaan konyol padanya. "Kamu sekarang masih sama Hendro?" kataku. Sebenarnya, aku tidak peduli ia sekarang berpacaran dengan siapa.Lagipula, tak ada untungnya untukku.

Olivia menggeleng, seraya berkata, "Sudah enggak."

Aku menunggu Olivia menjelaskan bagaimana ia dan Hendro akhirnya putus, tapi ia tetap diam tanpa kelanjutan, hanya mengaduk-ngaduk teh susunya dengan sedotan sebelum menyesapnya, mengambil kentang goreng dan mencocolnya ke sambal lalu memakannya, kemudian minum lagi. Hanya itu.

Aku tahu Olivia berpacaran dengan Hendro, yang merupakan teman kuliahnya, pada satu hari saat kami tanpa sengaja bertemu di bioskop saat sedang mengantri membeli tiket.Saat itu sudah sebulan—tepatnya sebulan kurang seminggu—sejak kami resmi putus.Olivia dan Hendro berada tepat di belakangku, dan aku menyadari kehadiran mereka berdua kala berbalik badan sehabis membeli tiket.Aku menyapanya, bertanya kabar.Olivia menjawab seadanya, lalu memperkenalkan cowok barunya, si Hendro ini.Pertama kali melihatnya, aku yakin si Hendro ini adalah seorang bajingan banyak lagak, dan setelah kuselidiki ternyata memang benar anggapanku.Berdasarkan informasi beberapa teman kuliah Olivia, yang lumayan dekat denganku, aku tahu si Hendro ini lebih sering bergonta-ganti cewek ketimbang mengganti celana dalam yang membungkus perkakasnya. Maksudku, iaplayboy dan jarang mandi, begitulah. Hari itu aku juga sempat bertanya pada mereka: "Mau nonton apa kalian?" Olivia menyebutkan judul film yang ingin mereka tonton—film yang sama dengan yang akan kutonton dan sudah kubeli tiketnya. Olivia lalu berencana mengajakku pergi mengobrol di kafe sehabis menonton film, tentu saja bersama pacarnya.Aku bilang, itu ide bagus, dan aku setuju-setuju saja, meski kemudian di tengah-tengah penayangan film aku memutuskan untuk pulang tanpa berpamitan pada mereka.Sungguh, aku tak punya masalah dengan mereka, asal kau tahu saja.Hanya saja, itu film yang buruk dan aku benci film yang buruk dan aku tidak suka membuang-buang waktu untuk sesuatu yang buruk dan karena itulah aku pulang dan melakukan sesuatu yang lebih berguna.Maksudku, sungguh aku tak marah atau kesal atau apalah dengan mereka berdua.Meski sebenarnya aku juga penasaran, bagaimana Olivia bisa secepat itu punya pacar lagi?Tapi aku segera melupakannya.Ternyata aku tidak cukup penasaran.Maksudku, hal semacam itu sering terjadi.

Aku menduga mereka putus karena si bajingan Hendro ini kepergok selingkuh.Tapi meski aku sudah bisa menduga, aku tetap menanyakannya. "Kenapa kalian putus?" kataku, agak curiga apa aku terdengar seperti psikiater yang sedang menanyai pasiennya.

Jawaban Olivia sesuai perkiraanku.Mendengar itu aku merasa lebih bernilai ketimbang si Hendro ini.Maksudku, aku setia dan tak pernah berselingkuh saat kami masih berpacaran dulu, bahkan tak pernah terpikir olehku ada cewek yang lebih menarik daripada Olivia.Bagiku, hanya Olivia satu-satunya saat itu.

Dalam hati aku memuji keberanian Olivia mengakui itu.Maksudku, itu tidak mudah.Ditinggalkan pacar karena diselingkuhi bisa jadi merupakan sebuah aib, kemalangan yang hanya pantas disimpan rapat-rapat di sebuah ruangan paling rahasia di hati, kurang layak dibagi-bagi oleh sembarang orang apalagi mantan pacar yang setia.Maksudku, bisa saja kau diolok-olok.Tapi tentu saja aku bukan orang seperti itu.

"Ambil sisi baiknya," kataku, agak ragu-ragu sebenarnya, karena aku tidak terbiasa mengucapkan hal-hal semacam ini."Itu berarti, Tuhan masih sayang kamu dengan enggak menjodohkanmu dengan pria yang enggak baik."Sebetulnya, aku ingin bilang 'bajingan' alih-alih 'enggak baik' tapi aku merasa itu kurang pantas atau apalah.

"Kamu benar," kata Olivia.Singkat saja. Jujur, aku berharap ia mengatakan lebih dari itu. Dan sialnya, ia kembali diam setelah itu, mengunyah kentang goreng lagi.

Aku meraih gelasku yang sudah berembun, mendekatkan sedotan ke mulut, menyesap teh yang sudah berkurang kenikmatannya.Terpikir olehku untuk menandaskannya sekaligus, tapi aku tidak melakukannya.Minumanku itu tersisa separuh gelas.

Tidak tahu mesti berkata dan berbuat apa lagi, aku hanya memandangi Olivia yang masih terus mengunyah.
"Boleh minta, enggak?" tanyaku akhirnya, berusaha mengatakannya dengan selucu mungkin agar tidak terdengar mengemis, dan sejujurnya aku kurang berhasil melakukannya.

Olivia tersenyum. Manis sekali—senyumnya memang selalu manis.  Tapi aku tidak yakin kenapa ia tersenyum: Mungkin karena apa yang barusan kutanyakan itu lucu atau justru konyol. Biarlah.

Aku diam, menunggu apa yang akan ia katakan. Dan ia berkata, kalau itu tak perlu ditanyakan, jangan malu-malu, ambil saja.Dan aku mengambil satu-dua batang kentang goreng dari piring, seraya memakannya dengan lambat.Rasanya aku benar-benar kehilangan selera pada kentang goreng itu.

Selanjutnya kami kembali diam, tak mampu menemukan bahan obrolan, dan Olivia terlihat tidak ambil pusing. Seolah ia membebankan tanggung jawab itu padaku.Lagi, aku mengusapkan tanganku yang berkeringat ke celana jins-ku.Jujur aku jadi agak menyesal melunasi ajakan Olivia.Kesal juga rasanya karena harus mencari-cari bahan obrolan, padahal yang mengajak bertemu malam ini—untuk mengobrol, katanya—adalah ia.

Lalu terpikir olehku untuk mengajaknya mengenang masa lalu yang pernah kami jalani bersama, saat hubungan kami masih baik-baik saja, tapi aku tidak tahu mesti memulainya dari mana.Mungkin aku bisa memulainya dengan momen-momen lucu, alih-alih romantis. Misalnya, ketika suatu hari aku bersikeras untuk menjemputnya sepulang ia kuliah meski ia menolak dan berkata ia bisa naik bus saja, dan di tengah perjalanan saat aku mengantarkannya ke rumah, motorku mogok parah. Karena kesal ia menyarankanku untuk menjual motor itu dan menggantinya dengan yang baru. Lalu karena tidak yakin motor itu akan laku bila dijual utuh, ia menyarankanku untuk memutilasi motor itu dan menjualnya secara kiloan. Aku tertawa saat mendengar komentarnya, bersyukur bahwa dalam keadaan kesal sekalipun selera humornya masih tetap terjaga. Aku membalas dengan berkata, kalau motor itu tidak rusak, ia hanya sedikit jahat, bahkan aku sempat curiga kalau ia antek decepticon, buktinya ia selalu saja bikin kami kesal.

Atau, bisa juga aku memulainya dengan saat kami kali pertama berciuman. Waktu itu, baik aku maupun Olivia belum pernah berciuman dengan siapa pun, sehingga ketika gagasan itu muncul kami harus membuka salah satu kanal di youtube terlebih dahulu untuk mencari tahu cara berciuman yang benar. Meski begitu, saat kami akhirnya berciuman karena merasa sudah cukup memahami tekniknya, yang kami lakukan hanya saling menempelkan bibir kami yang mengatup dan saling mengecup dengan malu-malu, padahal yang kami tonton di youtube kala itu adalah ciuman ala Perancis.

Tapi kemudian aku mengurungkannya.Dan akhirnya, aku pun hanya ikutan diam. Kentang goreng di tengah meja, tak lagi menarik minatku.Aku melirik sekantung kacang di pinggir meja, tampak memikat. Saat aku mengambil sekantung kacang itu, dan mulai membukanya, sebelum kemudian mengunyahnya dengan suka cita, aku sempat membatin: “Ada sedikit perubahan rencana.” Maksudku, aku bisa memakan setengah isi kantung itu sekarang dan sisanya untuk nanti.

Aku memuji betapa renyahnya kacang pemberiannya itu.Olivia bilang, senang mendengarnya.

Tak lama kemudian seolah menyadari kalau ia juga punya tanggung jawab untuk membuat pertemuan ini tak jadi membosankan, ia lalu bertanya.

“Bagaimana denganmu?” katanya.“Sekarang kamu lagi dekat dengan siapa?”

Aku menjawab, kalau aku lagi dekat dengan Tuhan—dan ini jawaban terbaik yang terpikirkan olehku saat itu untuk menggambarkan situasiku sekarang.Sejujurnya, sejak putus dari Olivia, aku agak kesulitan menjalin hubungan baru.Aku memang sempat berkencan beberapa kali dengan beberapa cewek.Namun hampir semua selesai setelah pertemuan kedua atau paling tidak keempat.Tidak tahu kenapa aku bisa begitu. Dan saat ini, di usiaku yang kian matang, aku seperti kura-kura tua yang bahkan terlalu malas untuk bernapas; alih-alih mulai mencari pendamping lalu menikah lalu berketurunan lalu mati dengan tenang, aku malah terkesan pasrah dan tak ambil pusing, seakan itu masalah ke seribu-sekian yang harus aku pikirkan, seakan aku menyerahkan urusan yang satu itu pada Tuhan belaka dan terlalu malas memikirkannya.

Jawabanku itu membuat Olivia tersenyum, barangkali menganggap itu lucu.

“Jadi kamu masih jomblo sekarang?” katanya.

Sebetulnya, aku ingin menjawab sebaliknya, bilang ada seseorang yang sedang aku taksir.Tapi aku tidak melihat gunanya berbohong di momen kali ini.Bahkan mungkin itu merupakan satu kesalahan.Lagipula, Olivia juga masih jomblo.Ini tidak memalukan.

“Ya, begitulah,” balasku, ringan saja, seraya memecahkan cangkang kacang lalu memasukkan butir-butir kacang ke mulutku, mengunyahnya dengan nikmat.

“Kamu harus segera menemukannya,” kata Olivia.Dan tiba-tiba saja itu membuatku agak tidak nyaman.

“Tentu saja, akan aku temukan ia, dan aku yakin enggak akan lama lagi,” kataku. Lalu balik berkata, “Kamu juga. Segera temukan ia.”Lalu saat aku merasa itu kurang tepat, aku buru-buru meralatnya.“Maksudku, semoga kamu segera ditemukan olehnya.”Aku pikir, itu istilah yang tepat.Sebab, seperti halnya tradisi di sebuah pesta dansa, yang mengajak berdansa adalah pihak pria, bukan sebaliknya.

Dan aku agak terkejut tatkala Olivia membalas, “Untuk yang itu, aku cukup beruntung.”

“Seberuntung apa?” tanyaku, tanganku berhenti mengupas kacang, lalu mencurahkan perhatian penuh pada Olivia. Menurutku, apa yang barusan dikatakannya terdengar aneh atau apalah.

“Ah, aku lupa bilang kalau aku sebetulnya sudah bertunangan.”

Fatal, ini benar-benar kesalahan fatal.Apa yang ia bilang tadi? Aku lupa bilang? Ya, ampun, bahkan dari tadi ia hampir tidak bicara. 

“Wow, siapa?”

“Anak teman Papa,” katanya.“Sebetulnya kami dijodohkan.Ya, ini mungkin terdengar lucu, mengingat aku sebelumnya pernah bilang enggak suka dijodohkan.Tapi saat kami pertama kali bertemu, aku pikir kami akan cocok jadi aku pun menerimanya.”

“Apa yang membuatmu langsung merasa cocok dengannya?Maksudku, apa yang kamu suka darinya?”

“Uhm, ia baik, menarik, dan sepertinya menjanjikan.”

Menjanjikan?Menjanjikan bagaimana?Apanya yang menjanjikan?

Meski rasanya agak aneh—dan aku bertanya-tanya kenapa bisa begitu—akhirnya aku mengucapkan selamat padanya.Maksudku, baiklah, aku ikut senang mendengar kabar itu.Harus.Mau bagaimana lagi?

Olivia lalu berterima kasih, meminta doaku agar semua lancar.Aku patuh saja. Memang aku harus apa?

Hanya saja ada satu hal yang tidak aku mengerti.Dan itu, asal kau tahu saja, anehnya, sulit untuk dikatakan.Sungguh.Sulit sekali untuk dikatakan.

Jadi, pertemuan ini untuk apa?

Demi membasmi rasa penasaranku, sesuatu yang mengganggu pikiranku, aku harus memutar otak untuk menemukan jenis pertanyaan yang tepat untuk situasi sekarang ini, dan akhirnya pertanyaan terbaik yang muncul adalah:

“Jadi, apa hanya itu yang lupa kamu bilang ke aku?”

Aku menunggu reaksi Olivia.Melihat apakah matanya jadi melebar.Melihat apakah bibirnya berkedut.Melihat apakah ada kerut di keningnya.Melihat apakah tubuhnya bergerak dengan wajar.Dan hampir semua tanda itu muncul pada dirinya.

Olivia mulai membenarkan posisi duduknya, meraih minumannya, mendekatkan sedotan ke mulut, menghirup teh susu yang kemungkinan juga tak lagi nikmat sama seperti milikku, seolah ada sesuatu di tenggorokkannya yang perlu digelontor masuk agar lega. Reaksinya menyiratkan, kalau pertemuan kami malam ini sudah masuk ke inti acara, tujuan utama.

Dan ia mulai mengatakan semua hal yang sulit aku ingat—atau tepatnya semua hal yang sebaiknya aku lupakan. Ia mengatakan jutaan omong kosong soal minta maaf karena ia berpikir kami putus tidak dengan baik-baik; bahwa ia berhutang penjelasan padaku—semua penjelasan yang sudah aku ketahui dan sebetulnya ia hanya mengulang saja, dan sedikit “mempercantik”. 

Aku bilang, tidak masalah, semua baik-baik saja.Lalu berkata, “Kamu hanya terlalu keras pada dirimu sendiri. Enggak semuanya salahmu.”

Setelah mengatakan itu, aku pamit untuk pergi ke toilet. Namun saat aku baru bangkit dari kursi, Olivia berkata, kalau ia harus pulang sekarang. Aku bertanya, apa ada yang akan mengantarnya, meski aku tidak bermaksud mengantarnya. Ia bilang, ia bawa mobil. Aku berkata, aku masih ingin di sini sebentar lagi.Ia tidak mempersoalkan itu, lalu ia menawarkan diri untuk membayar apa-apa saja yang kami pesan tadi. Aku sempat keberatan, namun saat ia bilang ia tidak merasa direpotkan, aku tak menghalanginya. Aku menunda niatku pergi ke toilet dan mengantarnya hingga ke parkiran.Begitu mobilnya meninggalkan parkiran, aku kembali masuk ke kafe. Alih-alih ke toilet seperti rencana semula, aku justru kembali ke meja yang masih dengan komposisi yang sama seperti saat aku tinggalkan tadi: dua gelas teh susu yang hampir tandas, kentang goreng yang masih tersisa setengah porsi, dan sekantung kacang kulit yang baru berkurang sedikit. Aku memesan secangkir kopi kepada pelayan yang kebetulan lewat di dekat mejaku sekalian mengangsurkan gelas dan piring untuk ia bawa sekalian—aku benar-benar hilang selera pada kentang goreng itu. Aku lalu mengeluarkan separuh isi dari sekantung kacang tadi ke tengah meja, mengasingkan setengah yang masih ada di kantung ke pinggir meja, dan mulai mengupas dan mengunyah kacang yang menggunung di tengah meja.Kopi pesananku tiba. Dan setelah hampir setengah jam berlalu, kopi itu hanya tinggal ampas di dasar cangkir. Kacang di tengah meja tadi ludes. Meski aku mencoba meyakinkan diriku sendiri, kalau sudah saatnya aku berhenti  mengunyah dan kembali ke rencana semula, aku tidak bisa menghentikan saat tanganku menuang kacang yang tersisa tadi ke tengah meja dan mulai mengupas lalu mengunyahnya. Entah kenapa aku tidak bisa berhenti, sekalipun sangat ingin.

Komentar

Postingan Populer