Pengecut Baik Hati

Ron memujiku bahwa aku seorang pemberani saat aku berhasil menumbangkan pria besar itu yang konon merupakan seorang penjahat. Aku bilang pada Ron kalau aku ini sebenarnya seorang pengecut. Penakut terburuk dari yang paling buruk. Sejak dulu begitu. Aku bahkan sampai sekarang tidak berani menggenggam seekor kecoa. Tapi ia bilang, aku lelaki yang punya prinsip; dan soal kecoa tadi, katanya, itu bukan berarti aku takut, hanya geli saja mungkin—katanya, sebagian orang juga begitu.

“Tetap saja, ketika aku melihat kecoa, aku bakal mengempaskan tangan sampai kecoa itu terlempar jauh dariku. Aku takut dekat-dekat dengan kecoa.”

“Kau pasti keseringan menonton film tentang kecoa, ya? Itu tuh film tentang wabah kecoa di sebuah kota di mana sang ratu kecoa bertelur di lambungmu lalu membiarkan telur-telurnya menetas di situ. Jika diingat-ingat harusnya itu jadi film komedi atau apalah yang lucu-lucu begitu. Mana bisa lambung manusia jadi sarang kecoa? Dan lagi, kecoa kupikir tidak punya ratu.”

“Ada ya film seperti itu?”

“Kau belum menonton film itu?” katanya. “Baguslah, sebelum terlambat lebih baik jangan menonton film itu. Ketakutanmu bakal jadi lebih besar.”

“Sekarang aku jadi penasaran.”

“Sudah kubilang jangan.”

Lalu aku mengingatkannya kalau bukan saatnya untuk membicarakan soal kecoa dan film-film apalah soal itu, ada yang harus dibereskan, sekarang juga.

Aku dan Ron lalu melihat pada tubuh pria berkepala botak yang rebah di lantai di bawah meja. Di kepalanya yang mengkilap itu terdapat luka yang mengeluarkan darah. Aku khawatir pria botak itu mati. Sebab aku yang bikin luka itu.

Ron berjongkok di dekat tubuh pria botak itu. Ia memegang tangan pria itu lalu menekankan jempol di pergelangan tangan pria itu. Ia menggeleng. Sialan!

“Mati?”

“Tidak ada denyut.”

“Jangan main-main,” kataku. Keningku berkeringat. “Coba periksa sekali lagi. Ia itu gendut banget. Kau harus menekan jempolmu lebih kuat lagi.”

Ia sudah melakukannya dan lagi-lagi menggeleng. Sialan!

“Bagaimana ia bisa mati? Begitu saja? Padahal aku—aku hanya—memukulnya dengan pelan. Pelan sekali. Itu bahkan tidak bisa membunuh seekor kecoa. Sumpah.”

“Tapi gelasnya sampai pecah,” katanya, lalu mengintip pada luka di kepala pria botak itu dan mengambil sesuatu entah apa dari situ. “Ada pecahan beling juga di sini.” Ia menunjukkan serpihan kaca yang tadi menancap di luka pria botak itu. “Lagipula, kenapa kamu bahas kecoa lagi, sih?”

“Sumpah, itu pelan,” kataku. “Ia pasti hanya pingsan.”

“Tapi ada beling di kepalanya.”

“Aku tahu, aku sudah lihat tadi,” kataku. “Astaga, aku dalam masalah besar.”

Ron bilang, itu benar, aku sungguh berada dalam masalah besar. Orang yang barusan aku pukul kepalanya dengan gelas mungkin pantas untuk mati, katanya, pria itu orang jahat dan bajingan tulen, pria itu sering bikin onar di sekitar sini dan mungkin saja pria itu pernah merampok dan membunuh dan memerkosa. Intinya, pria itu memang seharusnya mati sejak dulu—apa pun penyebabnya—demi kebaikan banyak orang. Sebelum hatiku melambung bak pahlawan, ia mengatakan: bahwa meski aku sebenarnya telah berjasa, polisi dan pengadilan dan tetek bengek hukum apalah itu tidak akan membiarkanku begitu saja. Mereka akan memburuku, memasangkan borgol di pergelangan tanganku, membawaku ke penjara lalu ke pengadilan, membacakan hukumanku, lalu mengurungku di penjara selama sejuta abad. Sialan! Anjing! Sialan! Aku benar-benar dalam masalah.

“Aku tidak mau masuk penjara dan membersihkan toilet dan bertemu kecoa.”

“Di situlah masalahnya, bung. Orang baik sepertimu selalu saja dibayangi ketakutan melawan penjahat. Jika tidak takut pada penjahatnya—sepertimu ini—mereka akan takut untuk melawan hukum,” kata Ron. “inilah sebabnya aku tidak suka sama polisi. Mereka itu tidak berguna, sungguh. Jikapun ada, gunanya pasti sedikit sekali. Mereka berlagak jadi pahlawan, tapi selalu datang belakangan setelah jatuh korban. Sial, memang. Tolol sekali orang-orang baik yang bergantung pada mereka. Mereka bukan juru selamat atau apalah itu, mereka itu algojo, penghukum.”

“Aku tidak mau di penjara,” kataku. “Biar aku periksa lagi, barangkali—“ Aku bahkan tak menuntaskan kalimatku dan langsung saja berjongkok di samping tubuh pria botak itu, mengangsurkan satu telunjukku di bawah hidung pria itu untuk mengetahui ada tidaknya napas. Aku tidak merasakan apa-apa dan hanya ada dua kemungkinan untuk itu: pria itu tertidur begitu lelapnya seperti bayi atau tertidur selama-lamanya. Aku sendiri lebih percaya kemungkinan kedua.

“Astaga, aku tidak mau masuk penjara,” kataku, seraya berdiri. Kakiku gemetar. Tanganku berkeringat.
Tiba-tiba terdengar ada mobil masuk ke parkiran. Ron mengintip melalui jendela, lalu menyuruhku bergegas untuk membereskan tubuh pria botak itu. Yang datang barusan adalah mobil polisi. Astaga, ini memang hari sialku.

Karena kami pikir kami tidak punya waktu untuk menyeret tubuh pria itu ke gudang di belakang kedai, kami akhirnya hanya mendudukkan tubuh pria itu di salah satu sofa terdekat; mengatur posisi tubuhnya seolah pria itu sedang tidur. Aku membersihkan darah yang merembes di wajah dan lehernya dengan tisu; mengambil salah satu dari empat lakban-hitam yang dipakai untuk menempelkan poster tentang konser band indie di dinding untuk menutup luka itu guna menghentikan pendarahan; lalu terakhir melepas topi yang kukenakan, mengendurkan talinya, dan memasangkannya di kepala botak pria itu. Aku duduk di dekat pria itu seolah pria itu kenalan lamaku, saat polisi datang. Polisi itu begitu muda, mungkin di usia awal dua-puluhan, dan diam-diam aku prihatin padanya karena semuda ini sudah jadi polisi.

Ron tak segera menyambut polisi muda itu dan malah mengambil sapu dan membersihkan pecahan beling yang berserakan di lantai dekat meja tempat aku duduk bersama meja pria itu. Polisi muda itu melihat ke arah kami—bertiga—mengamati apa yang kami lakukan. Polisi muda itu mencurahkan perhatiannya pada pecahan beling yang tengah dibersihkan, lalu bertanya dengan kecurigaan khas polisi.

“Apa terjadi sesuatu barusan?” tanya polisi muda itu. Kupikir polisi muda itu agak memicingkan mata.

Aku dan Ron menoleh pada polisi muda itu, lalu kami menggeleng hampir bersamaan. Aku berkata, “Tidak ada yang terjadi, pak. Aku hanya baru saja menjatuhkan gelas sampai pecah.” Aneh sekali, kenapa aku memanggil polisi muda itu “pak”—sejujurnya polisi muda itu butuh jutaan abad agar bisa setua aku.

Polisi muda itu melihat pada pria di sebelahku, lalu bertanya, “Siapa di sebelahmu itu? Temanmu?” Demi Tuhan kalau pria botak itu temanku, aku tidak akan memukul kepalanya dengan gelas, tapi aku mengangguk juga akhirnya.

“Ia masih hidup, bukan?” kata polisi muda itu, seraya tertawa keras sekali. “Malam-malam begini niat orang untuk berbuat jahat lagi kuat-kuatnya.”

Aku ikutan tertawa sekalipun itu sangat tidak lucu, lalu menjawab, “Ia hanya kebanyakan minum sampai teler.”

Polisi muda itu lalu berkata pada Ron, “Ayolah, bung, aku butuh segelas bir.”

Ron kembali ke meja bar setelah menumpahkan pecahan beling ke tempat sampah, lalu menyiapkan bir untuk polisi muda.

Polisi muda itu bangkit dari kursinya, lalu bergabung ke mejaku. Polisi muda itu meletakkan birnya di meja dan duduk di samping tubuh pria botak itu. Saat polisi muda itu mengamati wajah pria botak, aku gugup setengah mati, berdoa pada Tuhan untuk minta diselamatkan dari masalah ini—tapi ragu juga apa doa itu akan dikabulkan soalnya aku barusan membunuh orang. Lalu tiba-tiba terpikir olehku untuk mengakui semua, tapi ketakutanku pada penjara dan toiletnya membuatku diam.

“Ia tidak bergerak sama sekali,” kata polisi muda itu. “Beneran ia masih hidup?”
Aku mengangguk dengan ragu. Tapi itu tetap sebuah anggukan yang berarti, iya.

“Boleh aku pastikan?” tanya polisi muda itu.

“Tidak ada yang bisa melarangmu, pak,” kataku. “Tapi aku ingatkan, kalau ia sangat gendut, kau mungkin akan kesulitan mendeteksi denyut jantung ataupun nadinya.”

“Tentu saja, kau benar.”

“Juga, ia tidur sangat nyenyak, pak,” kataku. “Ia bernapas dengan sangat lembut dan perlahan sampai aku ragu ia sedang teler atau mati.”

“Kurasa kau benar lagi,” kata polisi muda itu. “Lalu bagaimana aku bisa memastikannya?”

“Pak, apa ini hanya lelucon?”

“Ya, ini hanya lelucon. Tertawalah.” Polisi muda itu tergelak. “Tapi aku penasaran.”

Lalu aku diam, tidak tahu bagaimana cara menghentikan orang yang sedang penasaran. Polisi muda itu tampak memikirkan sesuatu untuk menuntaskan rasa ingin tahunya.

“Aku punya ide,” kata polisi muda itu kemudian. “Apa temanmu akan keberatan jika aku mengelus ‘anunya’? Hanya untuk memastikan ia masih hidup atau tidak.”

“Ia pasti keberatan,” kataku, dan polisi muda itu langsung memberiku tatapan menyelidik. “Itu jika ia tahu. Mungkin tidak jika ia tidak tahu. Lagi pula ia sedang teler.”

“Jangan mengadu padanya nanti.”

“Tidak akan, pak, saya bersumpah.”

Saat polisi muda itu menurunkan celana pria botak itu dan mengelus anunya, kepalaku sedang sibuk memikirkan alasan apa yang akan aku berikan pada polisi muda itu jika anunya pria botak itu tidak bisa berdiri. Kurasa aku bilang kalau pria botak itu impoten atau apalah.

Tapi di luar dugaan, anunya pria botak itu menegang, mengeras, dan membesar. Anunya itu teracung seperti meriam yang siap ditembakkan. Sialan!

“Ia masih hidup,” kata polisi muda itu, “untunglah.” Lalu ia berkesimpulan, sambil membetulkan celana pria botak itu. “Kau tahu, ‘kan, orang mati tidak bisa ereksi.”

“Aku tahu, pak.”

Lalu aku bangkit dari meja, berpamitan pada polisi muda itu untuk pulang. Ia bertanya, apa aku tidak membawa pria botak itu juga? Aku bilang, ia akan bangun sendiri nanti, biarkan ia menginap di sini, aku hanya bawa motor bukan mobil, tidak mungkin memberikan tumpangan pada orang yang sedang teler. Polisi muda itu menyetujui.

Aku beranjak ke meja bar untuk membayar semua ongkos yang mesti aku keluarkan malam ini—termasuk di dalamnya lakban-hitam di poster tadi. Sebelum aku pergi, Ron berkata, “Jadi, ia tidak mati?”

Setelah mendesah dan menggeleng singkat, aku berkata, “Dengar ya, orang mati tidak bisa ereksi.”

Lalu aku melenggang pergi begitu saja.

Komentar

Postingan Populer