SI GENDUT

By : Etgar Keret

(Sumber gambar : www.phaidon.com)

Terkejut? Tentu saja aku terkejut. Kau jalan dengan seorang gadis. Kencan pertama, kencan kedua, ke restoran di sini, ke bioskop di sana, mencari hiburan malam. Lalu kalian mulai tidur bersama, bercinta dengan penuh gairah, dan segera saja perasaan indah itu pun muncul. Lalu suatu hari ia datang padamu dengan berderai airmata, dan kau mendekapnya, memintanya agar tenang, bilang semuanya akan baik-baik saja. Kemudian ia mulai berkata, ia sudah tidak tahan lagi menyimpan rahasia ini darimu, ini bukan rahasia biasa, melainkan sesuatu yang benar-benar mengerikan, kutukan, sesuatu yang sangat ingin ia akui padamu sejak dulu tetapi ia tak pernah punya cukup nyali untuk melakukannya. Rahasia ini begitu membebaninya, maka dari itu ia harus memberitahumu, benar-benar harus mengakui semuanya, meski ia tahu segera setelah ia melakukannya, kau akan meninggalkannya, dan mungkin saja kau memang akan meninggalkannya. Ia mulai menangis kembali.

Aku tidak akan meninggalkanmu, katamu. Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku mencintaimu. Kau terlihat kesal, meski sebenarnya tidak. Bahkan jikapun kau memang kesal, itu lantaran rengekannya, bukan lantaran rahasia yang dipendamnya. Kau tahu betul bahwa rahasia semacam itu yang selalu membuat seorang wanita luluh-lantak adalah sesuatu yang biasa mereka perbuat dengan seekor hewan, atau seorang Mormon, atau seseorang yang mau membayarnya untuk begituan. Aku seorang pelacur, tandas mereka. Kau lalu mendekap mereka seraya berkata, kau bukan pelacur. Kau bukan pelacur. Dan jika mereka tak kunjung berhenti menangis, kau cuma bisa bilang, shhh. Ini gawat, ia tetap ngotot, seolah mendapati betapa acuh-tak-acuhnya dirimu tentang masalah ini, meski kau sudah mati-matian menyembunyikannya. Perutmu mungkin mengeluarkan suara-suara aneh, katamu padanya, tapi itu normal. Begitu kau mencurahkan semuanya kau akan lihat ini tak seburuk dugaanmu—kau bisa lihat nanti. Sedikit demi sedikit ia mulai memercayaimu. Ia masih meragu, tapi kemudian ia bertanya: Seandainya suatu malam aku tiba-tiba berubah menjadi seorang pria gemuk, penuh bulu, tak berleher, dengan cincin emas melingkar di kelingkingnya, masihkah kau akan mencintaiku? Dan kau bilang, tentu saja aku akan tetap mencintaimu. Kau bisa bilang apa lagi? Kalau kau tidak akan mencintainya lagi? Ia hanya sedang mengujimu, untuk melihat apakah kau bisa mencintainya apa adanya—dan kau selalu lulus ujian itu. Nyatanya, segera setelah kau mengatakan itu, hatinya luluh, dan kalian bercinta saat itu juga di ruang tamu. Setelahnya, kalian berbaring sambil saling berdekapan erat, dan ia menangis karena merasa plong, kau pun ikut menangis juga. Bayangkan saja! Tak seperti hari-hari sebelumnya, ia tidak bangun dan pergi. Ia tetap berada dalam pelukanmu, terlelap. Kau terbangun, melihat pada tubuhnya yang indah, pada senja di luar, pada bulan yang muncul entah dari mana, pada cahaya perak berkilauan yang menyorot tubuh telanjangnya dan membelai rambut panjangnya yang tergerai di punggung. Lima menit kemudian kau mendapati dirimu tengah berbaring bersama seorang pria—pria gemuk yang pendek. Pria itu bangun dan tersenyum padamu dan dengan canggung mulai berpakaian. Ia meninggalkan ruang tamu dan kau mengikutinya, terpukau. Kini ia berada di ruang santai, jari-jarinya yang tebal tengah mengotak-atik remote TV, mengganti ke saluran olahraga, menonton pertandingan sepakbola. Ketika para pemain melewatkan sebuah umpan, ia mengumpat; ketika mereka mencetak gol, ia bangkit dan melakukan tarian kemenangan singkat.

Setelah pertandingan usai, ia memberitahumu, kalau tenggorokannya kering dan perutnya keroncongan. Ia bahkan mengaku bisa menghabiskan sebotol bir dan daging steik ukuran besar saat ini juga—daging yang dimasak dengan tingkat kematangan welldone dan diberi banyak onion ring dan lebih enak lagi jika ditambahkan daging babi cincang. Lalu kau pun masuk ke mobil dan mengajaknya ke restoran langganannya. Ini merupakan suatu kejutan yang kau khawatirkan, dan ini benar-benar terjadi, tapi kau tak tahu apa yang harus kau lakukan. Kau mulai hilang kendali. Kau memindahkan perseneling ke posisi netral dengan linglung. Ia duduk di sampingmu di kursi penumpang, mengetuk-ngetukkan cincin emas yang melingkar di kelingkingnya. Di persimpangan jalan berikutnya, ia menurunkan jendela, mengedipkan mata padamu, dan berteriak pada seorang gadis yang sedang mencari tumpangan: Hey, cewek, mau main kuda-kudaan dan naik ke punggungku? Setelah itu kalian berdua membungkus daging steik dan onion ring dan daging babi cincang sampai rasanya kau ingin mengamuk, dan ia menikmati setiap gigitan sambil tertawa-tawa seperti bayi. Sepanjang waktu kau meyakinkan dirimu sendiri kalau semua ini hanya mimpi. Mimpi yang aneh memang, tapi satu hal yang pasti kau akan segera bangun sebentar lagi.

Dalam perjalanan pulang, kau bertanya, di mana ia mau diturunkan, dan ia pura-pura tak mendengarmu, tapi ia terlihat putus asa. Akhirnya kau mengantarnya pulang ke rumahnya. Saat itu hampir pukul tiga pagi. Aku langsung tidur saja, katamu padanya, ia melambaikan tangan, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi busa, menatap pada tayangan peragaan busana. Kau bangun keesokan paginya dengan tubuh letih dan perut sakit. Dan kau mendapati, ia, gadismu, masih tidur di ruang tamu. Saat kau baru selesai mandi, ia bangun. Malu-malu ia memelukmu, sampai-sampai kau kehabisan kata-kata. Hari berlalu, hubungan seks kalian terus membaik. Ia tak akan menjadi lebih muda, begitu pula dirimu, dan tahu-tahu kau bicara soal kemungkinan memiliki seorang bayi. Di malam hari, kau bersama si pria gendut akan berkeliling kota, seakan-akan kau tak pernah melakukan hal itu sebelumnya. Ia mengajakmu ke restoran dan bar yang sepenuhnya asing bagimu, dan kau menari di atas meja bersamanya hingga memecahkan piring-piring, seolah tidak ada hari esok. Ia sangat baik, si gendut ini, sedikit kasar memang, terutama terhadap wanita; beberapa kali ia minggat dan membuatmu ingin mengubur dirimu sendiri di lantai. Selain itu, ia sangat menyenangkan. Ketika kali pertama kau bertemu dengannya, kau tak berkomentar apa pun tentang sepak bola, tapi kini kau hafal nama setiap tim. Dan saat tim favoritmu menang, kau merasa begitu bahagia, seolah doamu telah terkabul. Itu adalah perasaan yang luar biasa indah untuk seseorang sepertimu, meski kau tak tahu apa yang sebenarnya ia inginkan selama ini. Dan begitulah seterusnya: setiap malam kau menemaninya begadang untuk menonton pertandingan final sepak bola Argentina, dan di pagi hari di sanalah ia, gadismu yang cantik. Kau memaafkannya atas segalanya, meskipun itu menyakitkan.

*Cerpen ini diterjemahkan dari cerpen Etgar Keret berjudul Fatso.

Komentar

Postingan Populer