Bertemu Matahari

Lelaki itu masuk penjara pertama kali sejak ia berumur sebulan. Ketika ia masih berupa bayi mentah. Ia dijatuhi hukuman selama tiga puluh tahun atas tuduhan membunuh ibunya yang mati saat melahirkannya. Ayahnya yang tak mampu menerima kenyataan itulah yang telah menuntutnya. Sang ayah seolah tak peduli pada nilai moral, sehingga bersikeras memenjarakan si bayi meski mendapat kecaman dari beragam pihak. Sebagaimana ia tidak peduli bahwa bayinya itu bahkan belum bisa bicara. Ia terlanjur berkubang dalam kesedihan yang curam. Menenggelamkan akal sehatnya sendiri sehingga tak mampu berpikir jernih. Semua karena ia terlampau mencintai sang istri.

Dibantu dengan pengacara handal yang pandai membuat pasal-pasal hukum berpihak pada kepentingannya, si bayi merah itu akhirnya dijatuhi sanksi yang amat berat. Selain masa tahanan selama tiga puluh tahun, ia juga ditempatkan di penjara paling gelap: Penjara Bawah Tanah.

Seperti namanya, penjara itu tertanam di tanah sedalam satu mil, di sebuah pulau terpencil yang dikelilingi oleh samudera. Untuk naik ke permukaan, mereka menggunakan elevator yang hanya bisa dipakai atas izin penjaga. Cahaya matahari tak pernah menembus tempat itu. Kontan, mereka hanya mengandalkan pijar lampu yang bersinar redup sebagai penerangan. Menciptakan suasana remang. Temaram.

Di sanalah akhirnya si bayi tumbuh. Tinggal bersama narapidana lainnya yang sarat akan kekejaman dan kebengisan. Tetapi, meski ia tinggal bersama para penjahat itu yang masa hukumannya juga tak kalah lama dibanding dirinya—bahkan ada yang dijatuhi hukuman seumur hidup—tak pernah satu kali pun ia mendapat perlakuan buruk. Malahan, mereka melimpahinya dengan kasih sayang dan empati. Juga, setia mengutuk sang ayah berhati tega itu.

Lambat laun ia semakin betah tinggal di sana. Hingga ia tidak berminat untuk keluar dari tempat itu. Di sana ia menemukan keluarga.

Waktu terus berlalu. Ia telah tumbuh menjadi pria matang berkumis dengan jambang yang menempel di garis wajahnya yang tampan. Usianya menjelang tiga puluh tahun. Itu artinya tak lama lagi ia akan bebas. Tepatnya seminggu lagi.

Mendengar hari kebebasannya kian dekat, ia malah bersedih. Mukanya tampak murung. Ditumbuhi kesedihan yang dalam. Ia menolak untuk pergi.

Teman-temannya sesama narapidana pun menasihatinya. Berdalih bahwa tak seorang pun ingin menghabiskan hidupnya di penjara, terkekang dan binasa di dalamnya—meski ia divonis hukuman seumur hidup. Banyak dari mereka menasihatinya untuk pergi, menikmati dunia luar yang terang benderang. Cenderung sekali saran-saran mereka itu diiringi iming-iming yang mengunggulkan dunia luar. Bahkan ada yang memberinya ide-ide gila, semisal peluang untuk membalas dendam pada sang ayah; atau mengencani gadis-gadis cantik. Namun, semua saran itu hanya ditelan oleh kuping kanannya untuk kemudian dimuntahkan oleh kuping kirinya. Percuma.

Hanya satu hal yang menyita perhatiannya. Memancing rasa ingin tahunya. Yaitu perihal benda bernama: matahari.

Ia mendengar dari salah satu temannya itu bahwa benda bernama matahari itu mampu menumbuhkan beragam tanaman hijau yang menghasilkan buah atau karbohidrat yang menjadi makanan mereka sehari-hari. Temannya yang lain berkata bahwa matahari itu menghangatkan dan ia tak perlu takut kedinginan. Ada yang bilang bahwa ia tak perlu takut gelap—selama ini ia takut akan gelap—matahari bersinar lebih terang dari semua lampu yang ada dalam penjara. Temannya yang lain juga ikut menambahkan tentang kelebihan matahari. Tanpa ada satu pun yang berbicara tentang efek buruk cahaya matahari berlebih atau siklus siang-malamnya. Takut membuatnya tak minat merasai dunia luar.

“Apa matahari benar-benar tidak bisa padam seperti lampu?”

“Tentu saja ia akan padam pada satu hari nanti,” jawab seseorang. Membuat orang-orang di sekitarnya lantas meliriknya tajam. Mengintimidasi. Seolah ia mengatakan hal yang tak harus diucapkan dalam situasi itu. 

“Namun kau tak perlu khawatir. Kudengar usianya masih tersisa lebih dari lima milyar tahun,” buru-buru ia memperbaiki jawabannya yang langsung membikin lega semua orang.

“Di mana letak matahari?”

“Di luar sana. Tepatnya di atas langit. Kau hanya perlu mendongakkan kepala untuk melihatnya.”

Begitulah, menjelang hari kebebasannya, ia mulai berminat untuk keluar seraya bersumpah bahwa hal pertama yang akan dilihatnya adalah benda bercahaya yang katanya lebih terang dari lampu bernama matahari.

Sementara teman-temannya mulai bergosip: Apakah tidak mengapa membiarkannya cuma tahu sedikit soal matahari? Mereka sempat khawatir. Namun buru-buru mereka bersepakat, meyakini, akan ada orang yang memberitahunya lebih banyak soal matahari. Yang penting ia mau keluar dari sini dahulu—begitu dalih mereka.

Tibalah hari kebebasannya. Ia pun dibawa naik ke permukaan, setelah mengucapkan kata perpisahan pada teman-temannya.

Sesampainya di luar penjara, ia disambut kemilau putih yang begitu pendar. Hingga membikinnya berkali-kali mengerjapkan mata. Mencoba membiasakan matanya yang tiba-tiba mendapat asupan cahaya begitu melimpah. Sebuah senyum tersungging di wajahnya yang dibayangi sebelah telapak tangannya. Ia gembira mendapati keadaan di luar penjara yang memang lebih terang—kala itu masih siang menjelang sore.

Setelah matanya mampu beradaptasi, ia ingat pesan temannya yang menyuruhnya mendongakkan kepala bila ingin menemukan matahari. Maka ia pun melakukannya. Ditegakkan kepalanya ke langit, seraya matanya mengincar-incar. Penjaga yang mengantarnya naik menanyainya soal apa yang tengah dicarinya. Dengan lantang ia menjawab:

“Aku sedang mencari matahari. Seperti apa benda itu? Bisakah kau membantuku menemukannya?”

Tanpa ekspresi, si penjaga menunjuk satu tempat di langit. Di sana terdapat lingkaran yang berpendar terang. Menggantung cerah.

Untuk kesekian kalinya, ia terpukau. Perasaan bahagia memenuhi hatinya. Dengan bangga ia mengakui tidak perlu lagi takut gelap.

Pengakuannya itu malah memancing tawa si penjaga yang lantas berkomentar: “Seandainya semua penjahat sepertimu.”

Namun ia mengabaikan komentar sinis itu. Menganggapnya sebagai angin yang numpang lewat di kuping. Ia lebih suka mengagumi matahari daripada menanggapinya.

Si penjaga sempat merasa jengkel lantaran tak mendapat balasan sesuai harapannya. Namun ia segera melupakannya. Usai sebentar melirik arloji yang mengikat pergelangan tangan kirinya, ia berkata pada tahanan yang baru bebas itu, “Sejam lagi kapal yang bakal membawamu ke kota akan datang.” Ia lantas memutar badan, hendak menuju pintu. Namun baru lima langkah berjalan, tubuhnya berbalik setengah, menoleh pada si tahanan, seraya berkata kembali. “Tunggulah di sini. Puaskan dirimu sesukamu. Hari ini kau bebas sebebas-bebasnya.” Kemudian melanjutkan langkahnya.

Si penjaga hilang ditelan pintu.

Sementara si tahanan yang telah bebas itu berjalan menuju dermaga, duduk dengan kaki ditekuk dan tangan saling mengait dengan kedua siku menempel di lutut, asyik menyaksikan matahari. Lagi ia terkagum.
Tanpa terasa tiga jam berlalu. Namun kapal yang dinantinya belum juga datang. Mungkin terlambat. Atau terjebak masalah di dermaga seberang. Ia tidak peduli, dan masih terus memandang matahari—meski sebentar-sebentar mesti berhenti, sebab ia sempat merasakan perih di mata.

Hingga setengah jam kemudian ia mendapati matahari berubah warna menjadi kuning membara dengan warna jingga membakar langit. Diikuti dengan keadaan di sekeliling yang mulai meremang hendak ditelan malam. Mendadak ia panik akan keadaan di sekitarnya yang minim cahaya. Takut akan kegelapan yang perlahan mengepung. Ia berbalik badan, hendak berlari ke pintu penjara. Tetapi keadaan di belakangnya lebih kelam dan suram. Menciutkan nyalinya. 

Ia kembali melihat matahari yang sepertiga bagiannya mulai terbenam. Sempat terpikir olehnya bahwa matahari telah padam. Mati kehabisan tenaga. Tetapi buru-buru ia menampiknya, lantaran masih tampak pijar terang dari matahari. Ia lantas berpikir, tepatnya mengira-ngira, barangkali matahari yang disebut benda oleh teman-temannya adalah satu bentuk kehidupan sepertinya, yang kini tengah tenggelam ke dalam bak mandi raksasa yang penuh air. Yang berarti matahari tengah membutuhkan pertolongan.

Muncul ide di kepalanya untuk menyelamatkan matahari. Mengentaskannya dari lautan yang hendak menelannya, sebelum gelap memenuhi pulau itu.

Ia segera berlari menuju cakrawala, meloncat ke laut. Sementara gelap semakin menyesaki. Tidak ada yang tahu apa ia bisa merenangi lautan. Satu yang pasti, ketika si penjaga yang mengantarnya tadi kembali untuk mengabarkan bahwa kapal yang bakal menjemputnya sedang ada kendala; juga untuk mengajaknya makan malam, ia tak kelihatan batang hidungnya. Bahkan ketika beberapa orang dikerahkan untuk mencarinya, ia tak kunjung diketemukan. Barangkali ia ikut tenggelam bersama matahari.

***

Komentar

Postingan Populer