Pria Taurus

Sebulan lalu Bibi berkata padaku, "Menurutku, seorang pria taurus adalah calon suami terbaik."

Saat itu kami berdua sedang duduk di teras villa yang kami sewa untuk menghabiskan masa libur lebaran. Kami mengobrol macam-macam hal sambil menyesap teh yang enak dan menikmati senja yang mulai turun. Paman dan dua sepupuku masih belum pulang. Setelah mengantarkan aku dan Bibi kembali ke villa, mereka pergi lagi untuk naik perahu di danau buatan yang berada tak jauh dari sini.

Pernyataan Bibi terlontar begitu mendadak dan nyaris tak dapat aku perkirakan sebelumnya—itu kali pertama Bibi bicara soal 'calon suami' denganku. Namun bukan berarti itu tak beralasan. Bibi tengah menyindirku, atau tepatnya menggugahku, agar segera mencari pasangan. Usiaku memang sudah menginjak dua puluh sembilan tahun. Usia yang konon sudah cukup matang untuk menikah, utamanya bagi seorang perempuan. Tentunya, ini membuat Bibi khawatir kalau aku akan berakhir sebagai perawan tua dan itu wajar belaka. Setelah kedua orangtuaku meninggal karena kecelakaan pesawat, apa-apa saja yang berkaitan dengan kehidupanku sudah menjadi tanggung jawab Paman dan Bibi, meski tidak dengan serta-merta dan ngotot mencampuri urusanku.

"Apa Bibi suka membaca majalah astrologi?" Begitulah aku menanggapinya, seraya memberi cengiran canggung.

"Kebetulan aku pernah membacanya di internet."

"Bibi percaya itu?"

"Tidak sepenuhnya," ujarnya, "tapi aku punya bukti kuat."

Aku sudah tahu apa bukti kuat tersebut. Bukti kuat itu tidak lain adalah Paman.

Paman adalah pria yang hebat, baik sebagai ayah maupun suami. Ia nyaris tak pernah marah, malahan lebih sering mengumbar keramahan pada siapa pun tanpa pandang bulu. Orang-orang menyukainya, juga menghormatinya. Satu hal yang paling penting, ia setia. Bibi sering memuji hal itu di depanku, dan tiap kali ia mengatakannya matanya selalu terlihat berbinar. Bibi bilang, tidak ada yang paling diinginkan oleh perempuan dari seorang pria melebihi kesetiaan. Aku pun sependapat. Di masa sekarang, di mana pria diperbolehkan menikahi lebih dari satu perempuan, kesetiaan memang terdengar bagus—maksudku, supaya impas.

Jika ada hal yang perlu dikeluhkan Bibi soal Paman hanyalah keengganannya untuk hidup bermewah-mewahan—dan memang profesi Paman sekarang tak cocok untuk gaya hidup semacam itu. Paman, dengan keras kepala dan nekat, memang sengaja menempatkan diri di posisi semacam itu. Menurutnya, semakin tinggi jabatan seseorang maka akan semakin sibuklah ia dan itu akan menguras banyak waktu bersama keluarga. Saat Paman mengatakan itu, Bibi menyindir Paman sebagai pria yang tak punya ambisi. Paman hanya menanggapinya dengan senyuman. Meski begitu, bagiku, kekurangan Paman itu layak dimaklumi. Lagi pula, kesejahteraan hidup kami, di bawah naungan Paman, cukup terjamin.

Sementara Bibi menceritakan sosok Paman—atau si pria taurus—yang juga sudah kuketahui sebelumnya, aku memandangi langit yang mulai memerah sambil sesekali menyesap teh. Sesekali juga aku menanggapinya dengan jawaban singkat, misal: "Itu keren sekali" atau "Menarik" atau "Menakjubkan" tanpa menaruh peduli pada apa yang dikatakannya itu. Hingga tiba-tiba perhatianku terhisap sepenuhnya, ketika Bibi bilang,

"Terakhir, pria taurus juga mampu memberimu ciuman terpanas."

"Benarkah?"

"Tentu saja, aku sudah membuktikannya."

Lalu obrolan kami berakhir, bertepatan dengan datangnya Paman dan dua sepupuku.

Namun agaknya aku terlalu meremehkan obrolan saat itu dengan menganggap bahwa setelahnya tidak akan ada kelanjutannya dan hidup terus berlangsung tanpa banyak perubahan. Ternyata, itu baru awalan saja, sebuah pembukaan untuk sesuatu yang lebih agung.

Siang tadi, Bibi meneleponku ketika jam makan siang, mewanti-wanti agar aku pulang tepat waktu. Aku bertanya, "Kenapa?"

"Jangan banyak bertanya. Pokoknya, kau jangan sampai terlambat." Lalu Bibi menutup telepon.

Aku pulang tepat waktu dan mendapati kesibukan Bibi dalam menghidangkan makanan di meja. Aku menawarkan tenaga untuk membantu, tapi langsung saja ditolak. Bibi malah memintaku untuk segera mandi dan merias diri. Ia bahkan sudah menyiapkan sepotong gaun yang direbahkannya di ranjangku.

Aku sudah mencurigai sesuatu, sesuatu yang sangat mungkin tak kusukai. Dan kecurigaanku itu terbukti benar ketika aku mendengar dering bel rumah, dan Paman beranjak untuk membuka pintu, menjemput tamu kami—atau tepatnya tamu spesial untukku.

Kesan pertamaku saat melihatnya: ia adalah pria yang tampan dan sopan dan mungkin seumuran denganku—hanya itu, dan itu belum cukup membuatku terpikat. Penampilannya sangat rapi—ia mengenakan celana pantalon hitam dan kemeja putih lengan panjang yang dibungkus dengan jas hitam yang pas—, malahan menurutku terlalu rapi untuk seorang bujang sepertinya, sehingga aku sempat curiga kalau ia sebenarnya memiliki istri yang membantunya memasangkan dasi di kerah kemejanya.

Paman menyuruh pria itu untuk duduk di sebelah kursiku dan saat itulah aku menyadari kalau Paman dan Bibi telah berkomplot demi berlangsungnya acara ini.

Makan malam berjalan lancar, meski sepanjang waktu itu aku didera perasaan canggung. Aku berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan ringan dari pria itu, mengenai pekerjaan, hobi, film favorit, lagu kesukaan, dan lain sebagainya yang menyangkut diriku. Dan syukurlah, waktu kami semua mengangkat gelas masing-masing untuk bersulang, lalu gelasku dan gelasnya bertemu, aku tak menumpahkan anggurku.

Semua akhirnya usai. Sebelum pria itu pulang, kami berdua bertukar nomor ponsel, dan ia berjanji akan membuat kencan denganku di beberapa hari ke depan, yang sebenarnya tak terlalu aku harapkan. Aku mengantarnya sampai di halaman depan dan kembali masuk begitu mobilnya telah melewati pagar.

Aku lalu berganti pakaian, dan lekas menuju dapur, membantu Bibi mencuci piring dan semua perkakas yang kotor.

"Bagaimana pendapatmu tentang dia?" Aku sudah menduga kalau Bibi bakal bertanya demikian. 

Dan aku memberikan pendapatku tentang pria itu pada Bibi. Semuanya biasa saja. Tapi Bibi menganggap itu bagus.

"Jadi aku dijodohkan?" keluhku, akhirnya.

Bibi menyadari kelancangannya dan meminta maaf. Aku bilang, sudah memaafkan sejak lama.

"Kami hanya ingin membantu."

"Baiklah, aku memaklumi," kataku. "Jadi, dia si pria taurus?"

Bibi memandangku dengan heran, lalu berkata, "Bagaimana kau bisa berpikir begitu?"

Aku pikir tebakanku benar, dan dengan bangga mengingatkan Bibi kalau ia pernah membicarakan soal pria taurus, sebulan lalu, sebelum acara makan malam ini berlangsung.

Namun tebakanku ternyata keliru, ketika Bibi berkata, "Dia lahir menjelang natal."

"Aku pikir obrolan waktu itu ada hubungannya."

"Memang iya," kata Bibi, "tapi bukan soal itu, dan aku pikir, itu sama sekali tidak penting."

Dan yang lebih mengagetkanku adalah ketika Bibi berniat menggodaku dengan bilang, "Apa kau sudah lihat mobilnya? Sangat berkelas, bukan?"

Saat itulah aku merasa telah benar-benar dipermainkan.

Komentar

Postingan Populer