Tentang Perempuan yang Mengaku Menelan Biji Semangka

Dulu ketika saya masih bocah usia tujuh tahun, dan pengetahuan saya masih sangat terbatas, saya pernah bertanya pada Ibu, "Kenapa perut perempuan itu bisa sebesar balon?"

Pertanyaan tersebut muncul ketika untuk kali pertama saya melihat seorang perempuan yang tengah hamil tua (waktu itu saya belum tahu kalau perempuan itu hamil).

Saya ingat betul, saat itu, Ibu menjawab dengan jawaban yang lucu. Ibu bilang, kalau perempuan itu habis menelan biji semangka, dan tanaman itu akhirnya tumbuh dan berbuah di dalam perutnya.

Setelah mendengar jawaban itu saya jadi tidak suka makan buah semangka. Saya takut perut saya bakal membuncit seperti perempuan itu. Namun seiring bertambahnya umur, saya tahu itu sebuah kekonyolan yang tak patut untuk dipertahankan. Saya tahu perempuan itu sedang hamil, bukan habis menelan biji semangka seperti yang dikatakan Ibu.

Saya tidak tahu kenapa waktu itu Ibu menjawab begitu. Barangkali Ibu menganggap saya masih terlalu kecil untuk tahu-tahu hal tabu semacam itu. Ibu mungkin sudah menduga jika ia menjawab dengan sejujurnya, saya akan menanyakan lagi, perihal bagaimana perempuan itu bisa hamil dan lain sebagainya. Bisa jadi itu lantaran Ibu kurang pandai atau malas merangkai kata-kata yang pas untuk menyampaikan hal-hal tabu semacam itu secara halus. Tetapi, bagaimanapun semua itu sudah tak lagi penting. Toh, pada akhirnya saya tahu dengan sendirinya.

Hanya saja, meskipun saya tahu seperti apa bentuk perut perempuan yang sedang mengandung dan apa penyebabnya, juga bagaimana masyarakat memandang hal itu dan menetapkan aturan-aturan tak tertulis untuk membingkainya, semua menjadi tak berguna dan terlupakan ketika saya tenggelam dalam luapan hasrat.

Dan itulah yang terjadi.

***

Kejadian itu bermula ketika saya pamit ke Ibu untuk merantau ke kota-besar demi memuluskan niatan saya untuk berkuliah di sana. Nantinya, saya akan mencari kerja dahulu, mengumpulkan uang dahulu, dan setelah mencukupi, saya akan mendaftar kuliah. Kebetulan saya ada teman yang dapat kabar dari pamannya yang tinggal di kota, bahwa sebuah pabrik roti sedang butuh banyak pegawai baru. Jujur, itu tawaran menggiurkan. Terlebih ketika saya tahu gajinya sangat tinggi, jika dibandingkan dengan gaji rata-rata di kota kami yang hanya sepertiganya saja.

Tapi Ibu tidak mengizinkan saya. Ibu bilang, saya masih terlalu muda (kala itu saya memang baru lulus SMA). Ibu bilang, saya masih amat lugu dan polos. Ibu bilang, gadis seperti saya hanya akan jadi mangsa yang empuk bagi kehidupan kota yang buas lagi ganas itu.

Tapi saya pantang menyerah. Saya membujuk Ibu tiada putus. Saya memohon agar diberi restu. Saya mati-matian meyakinkan Ibu, kalau saya akan baik-baik saja di sana dan akan pandai-pandai menjaga diri. Saya menjanjikan Ibu, akan pulang membawa gelar dan kesuksesan dan kemapanan hidup. Saya terus bersabar selama berminggu-minggu, hingga Ibu akhirnya luluh dan mau memberi restu.

Seminggu setelah lebaran, saya dan teman saya berangkat. Kala berpamitan, Ibu masih menunjukkan ketidakrelaannya melepas saya. Masih berat hati. Saya meyakinkannya lagi, dan Ibu terpaksa menerimanya, mencoba tampak tegar sekalipun saya tahu hatinya pasti sedang sangat rapuh dihantam gemuruh perasaan, hingga membuat saya terpaksa mengencangkan niat sekali lagi agar tak gentar. Dengan disertai air mata, Ibu merelakan kepergian saya.

Saya dan teman saya menumpang bus-antar-kota yang makan waktu lebih dari delapan jam perjalanan. Menjelang petang, kami sudah sampai di terminal kota tersebut dan diantar ke kosan kami oleh sepupu teman saya. Sesampainya di kosan, kami berdua langsung tidur dengan sangat lelap demi mengumpulkan tenaga agar kuat menyongsong hari esok.

***

Kami akhirnya diterima kerja di pabrik roti. Seperti yang dikatakan oleh paman teman saya, pabrik itu memang sedang butuh banyak pegawai.

Dengan diterimanya saya bekerja di situ, saya meyakini niatan saya untuk kuliah bukan lagi sesuatu yang mustahil. Saya yakin dengan menabung gaji saya perbulan, cita-cita saya itu bakal terwujud.

Namun semua berubah setelah saya bertemu ia. Tujuan saya jadi berbelok ke arah yang lain.

Ia adalah lelaki pertama yang saya sukai, yang saya kagumi, yang saya cintai. Kami bertemu di pabrik. Ia salah satu pegawai bagian gudang, dan sudah bekerja di situ sekitar tiga bulan. Ia tampan. Ia baik hati. Ia sering mengajak saya jalan atau nonton. Ia sering menraktir saya makan. Ia sering membelikan saya baju, sepatu, parfum, pulsa dan lain sebagainya. Ia memperlakukan saya bak seorang ratu. Ia sangat perhatian sama saya.

Saya menyadari kalau saya jatuh cinta padanya, ketika ia sering muncul mimpi-mimpi saya tiap malam. Saya menyadari kalau saya amat merindukannya, ketika ia jauh dari saya. Saya menyadari kalau saya benar-benar kepincut dengannya, ketika saya merasa resah dan gelisah karena ia tak kunjung menyatakan cinta—dan saya begitu lega ketika pada suatu hari ia menyatakan cintanya pada saya dan kami resmi berpacaran.

Ia berjanji, tak akan meninggalkan saya. Ia berkata, cintanya pada saya sebesar gunung Everest dan sedalam palung Mariana. Ia bersumpah, rela mati demi saya, menyerahkan segenap hidupnya demi saya.

Mendengar itu semua, saya makin menggilainya. Saya rela melakukan apa saja demi ia. Saya mau memberi apa saja yang ia mau. Saya percaya cintanya tulus dan murni.

Namun itu dulu, sebelum malam jahanam itu terjadi, ketika ia mengajak saya ke kosannya. Sebelum ia menggiring saya masuk ke kamarnya dan mendudukkan saya di tepi ranjang. Sebelum ia mengunci pintu lalu mendekati saya. Sebelum ia mendaratkan kecupan di pipi dan memagut bibir saya dengan rakus. Sebelum ia mengirim tangannya masuk ke baju saya dan meremas dengan gemas dua bongkah payudara saya yang masih terbungkus beha, secara bergiliran. Sebelum ia melucuti baju saya hingga saya setengah bugil. Sebelum ia mencopot kait tali beha saya dan mulai mengecup dan menggigit dan menyesap puting susu saya, meninggalkan bercak-bercak merah di sana. Sebelum ia mulai menciumi perut dan ketiak dan tengkuk saya. Sebelum ia merebahkan tubuh saya di kasur. Sebelum ia membuka kancing celana saya dan menurunkan ritsleting dan meloloskannya dari kaki saya. Sebelum ia menurunkan celana dalam saya dan ia mulai menelanjangi dirinya sendiri, memamerkan "tombak-tumpulnya" yang mengacung keras. Sebelum ia menaikkan kedua paha saya dan menguaknya dan lidahnya mulai bergerilya di selangkangan saya. Sebelum ia menodongkan "tombak-tumpulnya" tadi ke liang senggama saya dan mendorongnya masuk dan menjebol keperawanan saya dan mulai memompa dengan mengandalkan gerakan pinggul bertempo lambat ke cepat. Sebelum akhirnya ia mencapai puncak dan mengerang puas, menuangkan benihnya ke rahim saya.

Saya masih ingat apa yang ia ucapkan setelah ia mencabut "tombak-tumpulnya" yang sudah terkulai lemas dari liang senggama saya, dan tubuhnya roboh di samping saya.

"Terima kasih, sayang, kamu sangat menyenangkan. Saya makin cinta sama kamu." Lalu ia mengecup kening saya lama sekali.

Saat itulah saya mulai menangis.

"Bagaimana kalau saya hamil?" tanya saya, khawatir.

Sekilas saja, saya mendapati wajahnya berubah pasi, dan demi menyembunyikannya, ia langsung saja menegakkan tubuh dan menggumamkan sesuatu. Sedikit yang bisa telinga saya tangkap, ia sepertinya menyesali satu kecerobohannya tadi. Sesuatu yang berhubungan dengan menyembur di dalam. Mau tak mau itu membuat saya semakin khawatir.

Saya ikut menegakkan tubuh, lalu menangis deras.

"Pokoknya, kamu jangan pernah tinggalkan saya."

Ia berpaling ke saya. Ia membelai rambut saya dengan lembut. Saya menoleh kepadanya dengan wajah dibanjiri tangis. Saya lihat ia tersenyum.

"Maaf, saya bikin kamu khawatir," katanya kemudian. Ia merengkuh tubuh saya dalam pelukannya. "Saya tidak akan pergi. Kalau kamu hamil, saya akan tanggung jawab. Kita akan menikah."

Saat itu saya curiga, ia cuma berbohong demi membuat saya berhenti menangis. Tetapi, anehnya, saya tetap mempercayainya.

Tiga minggu kemudian, saya menyesal tidak memercayai kecurigaan saya itu. Saya terlambat datang bulan. Saya panik. Saya membeli alat tes kehamilan, menetesinya dengan air kencing saya. Hasilnya: positif. Saya makin panik. Saya ingin segera mengabarinya, menuntut pertanggungjawabannya. Tapi saya kehilangan jejaknya. Kata orang-orang yang dekat dengannya, ia sudah minggat tanpa kabar.

***

Perut saya sudah membukit. Usia kandungan saya sudah menginjak tujuh bulan. Kontrak kerja saya di pabrik sudah habis dan tidak diperpanjang lagi. Saya tidak tahu harus apa dan mesti bagaimana. Cita-cita saya hangus. Pupus. Saya ingin pulang, tapi saya malu. Sungguh-sungguh malu. Alasan apa yang bisa saya berikan pada Ibu dengan kondisi saya sekarang? Tapi jikapun saya memaksa tinggal di sini, tanpa pekerjaan, saya hanya akan menjadi beban. Saya ingin mati saja, menenggak racun atau menenggelamkan diri ke sungai. Tapi jika saya mati, bayi dalam perut saya bakal ikut mati dan saya akan sangat berdosa.

"Ibumu berhak tahu keadaanmu sebenarnya," saran teman saya, suatu hari. "Saya akan bantu kamu menjelaskan semua ke ibumu. Saya yakin dia akan ngerti."

"Tapi Ibu pasti akan kecewa."

"Dia akan lebih kecewa lagi jika kamu memilih mati."

Akhirnya, saya pulang. Sendirian. Teman saya memaksa untuk mengantar, seperti janjinya, ingin membantu saya menjelaskan semua. Tapi saya melarangnya. Sebab saya sudah tahu mesti bilang apa pada Ibu.

***

Sepanjang perjalanan dari mulut gang menuju rumah, para tetangga menatap saya dengan sorot mata menghakimi dan mencela, memandang saya dengan jijik, seolah saya sedang mendorong gerobak penuh tahi. Saya hanya menundukkan kepala, mencoba mengabaikan, sambil berjalan cepat-cepat, berpura-pura tidak tahu meski itu mustahil.

Sesampainya di depan pintu rumah, saya cukup lega. Atau tepatnya memaksa untuk lega. Bagaimanapun saya harus tenang sebelum masuk ke babak baru yang lebih mencekam. Saya harus siap menerima apa pun yang terjadi setelah pintu di depan saya terbuka.

Saya mengepalkan tangan kanan, mendekatkannya ke daun pintu, ingin sekali saya langsung mengetuknya, tetapi tangan saya tertahan, menggantung di udara. Saya berusaha memantapkan hati lagi. Menarik napas panjang lalu mengembuskannya lewat mulut. Sejenak saya lupakan dan enyahkan bayangan dari kemungkinan-kemungkinan menakutkan yang bakal menimpa saya begitu Ibu melihat saya dengan perut menggembung. Atas dorongan kenekatan dan ketidakacuhan, akhirnya saya berhasil mengetuk pintu sebanyak tiga kali tumbukan.

Saya mendengar suara Ibu, menanyakan siapa yang ada di balik pintu. Saya diam saja. Tidak lama, terdengar selot pintu ditarik. Lalu, saya lihat kenop pintu diputar ke bawah. Demi melihat itu, mendadak saja kaki saya mundur selangkah, ingin sekali saya balik badan dan enyah selekas mungkin. Namun saya tekan keinginan itu kuat-kuat. Saya tetap berdiri di ambang pintu. Perlahan pintu terkuak dengan diiringi jeritan engsel berkarat.

Dan ... kemudian ... Ibu muncul.

Saat melihat saya dengan perut membuncit, Ibu terkejut, lalu meloloskan jeritan tertahan, lalu menangis, lalu kedua tangan dan kakinya gemetar, lalu pingsan.

Beberapa tetangga menonton kejadian tersebut, tetapi tak satu pun datang menolong. Dengan menahan perut buncit yang ditarik oleh gravitasi, saya menyeret Ibu ke ruang tamu, dan berusaha membuatnya siuman.

***

"Sudah berapa bulan kamu hamil?" tanya Ibu. Suara Ibu mengandung amarah, kekecewaan, dan kesedihan.

Saya mencoba untuk tidak terpengaruh. Meski sulit, akhirnya saya bisa menjawab dengan cukup tenang, bahwa saya tidak sedang hamil. Perut buncit ini karena saya telah menelan biji semangka. Kini tanaman itu tumbuh dan berbuah dalam perut saya.

"Siapa bapaknya?"

Saya menjawab Ibu dengan jawaban yang sama seperti sebelumnya.

"Kamu pikir Ibu ini tolol!" Ibu semakin gusar. "Oh, andai saja itu benar."

Saya berkilah, mengirim jawaban yang itu-itu saja.

Ibu makin marah dan tampak putus asa.

"Oh, Tuhan, kenapa Engkau menimpakan kemalangan ini pada anak saya juga!" Ibu memekik, menjambak-jambak rambutnya sendiri.

Saya diam saja. Tetapi pikiran saya terusik oleh sesuatu yang berasal dari perkataan Ibu barusan.

"Kenapa, Tuhan? Kenapa?"

Saya masih diam. Memasang kuping.

"Cukup saya saja yang mengalami itu semua, jangan anak saya Engkau timpa kemalangan yang sama!"

Untuk yang satu itu saya tidak bisa diam saja. Saya terkejut. Kaget. Apa maksudnya ucapan Ibu barusan?

Saya pun menanyakannya.

"Kamu tahu kenapa kamu tidak pernah melihat wajah bapakmu?" kata Ibu.

Saya menggeleng, meski bisa menduga jawabannya.

Lalu Ibu melanjutkan penjelasannya.

"Itu karena kamu memang tidak pernah punya bapak."

Setelah mendengar itu, saya langsung pingsan.

***

Epilog:

Suatu malam, menjelang Isya', perempuan paruh baya itu menemui seorang bidan, dan dengan tergesa meminta si bidan untuk segera datang ke rumahnya. Ia bilang, anak perempuannya hendak melahirkan. Tak lama, ia dan si bidan beserta seorang asisten lalu segera berangkat.

Beberapa saat kemudian mereka sampai dan langsung masuk ke kamar, tempat seorang perempuan muda berperut besar tengah berbaring di ranjang sambil merintih kesakitan. Si bidan segera meminta asistennya mempersiapkan apa-apa saja yang dibutuhkan untuk melangsungkan persalinan.

Tak lama, terdengar bunyi erangan. Si perempuan muda mengejan mengikuti instruksi si bidan. Sementara sang ibu menguatkannya lewat uluran tangan untuk dicengkeram kuat oleh si perempuan muda tadi.

Meski suasana di kamar itu sedang kalut, di antara harapan agar persalinan itu berlangsung dengan lancar sehingga sang ibu dan bayinya bisa selamat, muncul satu harapan lucu lagi menggelikan yang hanya bisa dipahami oleh si perempuan muda dan ibunya (si perempuan paruh baya).

Saat itu, si perempuan paruh baya berharap perut yang membukit itu berisi semangka, berharap yang akan lahir itu semangka, sekalipun ia tahu apa yang sebenarnya akan menerobos keluar dari saluran peranakan anak perempuannya itu. (Dan tampaknya, si perempuan muda juga menyimpan sedikit harapan yang sama pula.) Sayangnya mereka tetap harus menanggung kekecewaan, ketika terdengar tangis seorang bayi.

Komentar

Postingan Populer